achaistyping

A writer of Ohm Nanon Alternative Universe. @achaistyping on twitter.

The Last.

Sesuai janjinya, Andovy datang menjemput Jericho. Tangannya berkeringat, senyumnya kikuk, menerawang entah apa yang akan ia hadapi nanti. Apakah caci dan makian dari Jericho? Atau hal-hal lain yang lebih buruk? Yang jelas Andovy tidak akan menyia-nyiakan kesempatannya ini. Kesempatan yang mungkin bisa merubah nasib hubungan mereka berdua menjadi lebih baik.

Ketika Andovy melihat Jericho keluar dari rumahnya dan berjalan ke arahnya, ia langsung merapihkan bajunya. Tersenyum sehangat mungkin walaupun tak mendapatkan balasan yang sama manisnya.

Andovy menatap Jericho yang kini berada di hadapannya lalu menyerahkan buket bunga tulip yang sedari tadi ia genggam pada Jericho. “Selamat ya, maaf aku baru kasih hadiah sekarang. Sebenarnya aku beli juga kemarin, cuma bunganya layu jadinya aku beli lagi yang baru, hehe.”

“Ayo jalan sekarang, keburu kemaleman.” Suara dingin Jericho membuat senyum Andovy memudar namun dengan cepat ia mengubah raut wajahnya, tak ingin ini semua berantakan. Bagaimanapun ia pantas mendapat respon seperti itu dari seseorang yang masih menjadi kekasihnya.

“I-iya, ayo sayang.” Andovy buru-buru membuka pintu mobil dan mempersilahkan Jericho masuk.

Setelah ia menutup pintu mobil, Andovy berlari untuk ikut masuk dan duduk di belakang kemudi. Saat ia hendak memasangkan seatbelt untuk Jericho, secepat itu juga Jericho menarik seatbelt dan memasangnya sendiri tanpa menoleh dan menatap Andovy.

Lagi dan lagi senyum pahit terpatri di wajah tampan Andovy, ia kecewa, namun ia tahu bahwa rasa kecewa Jericho lebih besar lagi dari ini.

Perjalanan menuju cafe nampak senggang walaupun dijam sibuk, keadaan di dalam mobil-pun sunyi sepi. Baik Jericho maupun Andovy tak ada yang memulai obrolan.

Jericho menatap buket bunga di pangkuannya, sedang pikirannya berisik. Harusnya ia bahagia bukan? Harusnya ia berterima kasih. Namun tiap kali memikirkannya, dadanya kembali sakit, sesak bahkan mual. Ternyata Andovy tak hanya menyakiti hatinya, namun juga mentalnya.

Di dalam buket itu ada sepucuk surat bertuliskan 'Congratulation, love! You are amazing, I love you to the moon and back!'

Tak terasa air matanya jatuh namun buru-buru ia seka. Tak ingin terlihat lemah di depan Andovy.

“Kita mau ke mana dulu nih? Mau nonton sama aku?” Pertanyaan Andovy terdengar dan langsung dijawab gelengan oleh Jericho.

“Langsung ke cafe aja.”

Sebelumnya Jericho tak pernah sesingkat ini menjawab pertanyaannya.

'Ovy, apa yang lo lakuin! Lo udah nyakitin dia!'

. . . . .

Makanan yang disuguhkan kini telah habis seluruhnya, Andovy dan Jericho makan dengan suasana dingin walaupun lilin malam menyala di tengah-tengah mereka.

Setelah menyeruput kopinya, Jericho menarik napas panjang nan dalam lalu menghembuskannya perlahan. Akhirnya hari ini tiba juga, hari yang sebetulnya sangat ditakuti Jericho.

“Jadi dia udah kembali ya? Tugasku udah selesai?” Tidak, akan lebih baik bagi Andovy mendengar caci maki dari Jericho daripada mendengar suara lirih menyayat hati itu. Lebih baik ia diteriaki, kalau perlu pukul saja Andovy.

“Gak, gak ada yang kembali. Adanya kamu, kamu gak akan terganti. Maafin aku, aku... Aku khilaf, aku gak bermaksud buat mainin kamu, gak ada sama sekali, sayang. Aku bener-bener sayang sama kamu, aku cinta sama kamu.”

Jericho sekuat tenaga menahan amarah, sedih, kecewa yang berkecamuk dalam hatinya. Dengan suara lirih, ia kembali berbicara. “Apa selama kamu menghilang, kamu bersama dia? Hari dimana kamu gak dateng dinner waktu itu, kamu juga lagi sama dia? Urusan mendadak yang bikin kamu lupain aku juga.. Apa itu karena dia?”

Jericho menatap Andovy dengan berkaca-kaca. Hatinya berteriak 'Please, jawab enggak. Kamu tahu kalau kamu bohongpun aku akan tetep percaya kamu.'

Namun yang ia dapatkan adalah anggukan lemah dari Andovy, dan seketika air matanya jatuh.

“Maafin aku, Iko.. Maaf.. Aku tau aku bodoh, aku tolol udah ngelakuin itu semua ke kamu. Aku minta maaf.” Wajah sedih itu terangkat dari tunduknya, tangannya terulur untuk meraih jemari Jericho namun dengan cepat pula Jericho menarik tangannya.

“Did you sleep with her?”

Untuk terakhir kalinya Jericho berharap bahwa jawabannya adalah tidak.

“Iko... Sayang..”

“Please... Did you?”

Keringat dingin membasahi tangannya yang sedari tadi ia genggam erat, bibirnya ia gigit demi menahan air mata yang terus memaksa keluar. Detik demi detik terasa melambat saat ia menunggu jawaban terakhir dari kekasihnya.

“I'm so sorry..” Andovy kembali menundukkan wajahnya tak berani menatap Jericho yang memandangnya dengan penuh kecewa.

“I DON'T NEED YOUR SORRY! JUST ANSWER ME!” Teriakan Jericho akhirnya lepas, beruntung mereka berada di dalam ruang VVIP yang artinya tak ada orang lain selain mereka.

“Yes.. I slept with her. I'm sorry, Iko. Aku bener-bener khilaf. Aku sadar itu semua dan aku berusaha buat akhirin semuanya, aku gak mau sama dia. Yang aku mau cuma sama kamu, tapi cewek itu terus maksa aku.” Runtuh sudah dunianya.

“Dan kamu korbanin aku demi dia? Kamu khianatin aku, kamu sakitin hati aku demi perempuan itu, Ovy!” Sesak rasanya berbicara dengan penuh air mata.

“Memang di sini aku yang bodoh. Seharusnya dari awal aku sadar kalau orang yang belum selesai sama masa lalunya gak akan pernah bisa menghargai apa yang dia punya saat ini. Berkali-kali kamu bohongin aku, aku tetep percaya! Selama ini aku bertanya-tanya ke diri aku sendiri, aku kurang apa sama kamu, apa aku ada salah? Apa aku yang terlalu meragukan kamu? Aku percaya sama semua omongan kamu yang ternyata bullshit.”

Yang Jericho rasakan saat ini hanya mual karena emosi yang terus membuncah. Sesungguhnya ia tidak pernah sanggup untuk menghadapi ini semua.

“Ternyata aku selalu kurang di mata kamu, ternyata aku belum begitu penting di hidup kamu.”

“Kenyataannya, aku kalah. Aku kalah dengan masa lalu kamu.”

“No! No, no, no, aku gak cinta sama sekali sama dia, kamu satu-satunya orang yang berarti di hidup aku Iko. Tolong, for the last time, believe me. Aku rela berkorban apa aja demi kamu, Iko.”

Andovy beranjak dari duduknya secepat kilat, bersimpuh di dadapan Jericho, menggenggam tangannya erat sambil menangis di sana. Sungguh ia tak ingin kehilangan kecintaannya.

“Apa yang bisa dia kasih tapi aku enggak, Vy?”

Tak ada jawaban, hanya isakan Andovy serta gelengan ribut yang ia dapatkan sementara tangannya semankin erat digenggam.

“Anak?”

“No! I don't give a shit about that, I love you, dan itu cukup buat aku!” Andovy semakin frustasi.

“Tapi kenyataannya aku masih belum cukup untuk kamu.”

Kenyataan Andovy selingkuh dibelakangnya membuat dirinya begitu hancur hingga berkeping-keping,m.

“You know I love you, Vy-”

“Ya I knew it, so please just stay, I beg you, Iko. I can't love anyone else but you, please..” Isakan tangis keduanya bersahutan memenuhi ruangan ini.

Keduanya masih larut dalam takut selama beberapa menit hingga akhirnya satu tangan Jericho terangkat dan mendarat di atas kepala Andovy, seketika Andovy-pun menatapnya.

“I love you, but I'm letting go-”

“No.. Please..” Andovy semakin gelisah di bawah sana.

“Aku sayang sama kamu, tapi aku gak bisa lagi. Setiap lihat kamu aku sakit, setiap lihat kamu aku gak bisa kendaliin pikiran aku dari hal-hal buruk. Aku gak bisa kendaliin bagaimana otakku membuat skenario ketika kamu bersama perempuan itu, ketika kamu mengkhianati aku, semuanya ada di otak aku, bayangan bagaimana kamu sama perempuan itu... Aku sakit, Vy, dan aku gak bisa.” Jericho menggelengkan kepalanya seola bayangan di pikirannya bisa hilang dengan itu.

“Aku gak akan bisa bersikap seperti gak terjadi apapun kedepannya kalau kita terus sama-sama dan kamu pasti akan tersiksa dengan rasa bersalah kamu. Pada akhirnya kita berdua akan terluka terus.”

“Gak, gak, Iko. Aku yakin itu gak akan terjadi. Aku gak akan bisa tanpa kamu, aku gak tau apa jadinya aku kalau kamu pergi dari hidup aku. Aku mohon jangan tinggalin aku. Apapun akan aku lakuin, asal kamu gak tinggalin aku.”

“Hidup kamu akan terus berjalan, dengan atau tanpa aku.”

Jericho menarik tangannya dari genggaman Andovy lalu menyeka air mata yang membanjiri wajah lelaki tersebut. Menatap Andovy dengan penuh cinta sekaligus rasa sakit yang tak terbendung.

“I love you, Ovy, I really do. Kamu harus tetep hidup untuk dirimu sendiri, ya? Setelah ini jangan pernah cari aku, kamu harus hidup dengan baik. Jangan lupa baikan juga sama Diora, hehe. Dia temen yang baik, jangan sampai kamu kehilangan dia seperti kamu kehilangan aku.” Jericho berusaha berbicara sehalus mungkin untuk menenangkan Andovy yang semakin kalut.

Andovy benar-benar tak sanggup berbicara sepatah katapun, ia terisak semakin hebat di hadapan Jericho. Dan setelah itu Jericho bangkit dari duduknya.

“Aku pergi ya.” Jericho melangkahkan kakinya menjauh dari cintanya, menjauh dari alasannya hidup dengan langkah gontai yang sebetulnya berat.

Keinginan untuk berbalik dan berlari ke pelukan lelaki itu sangat besar, keinginan untuk mengucapkan kata 'Aku gak apa-apa' dan 'Kita mulai dari awal lagi, ya?' Ingin sekali ia utarakan. Namun ia tahu, hati yang sakit jika dipaksakan untuk terus memeluk tidak akan indah akhirnya. Jadi ia memutuskan untuk melepas pelukan itu dan menyembuhkan hatinya sendirian.

Jericho keluar dari ruang itu dan menutup pintu tersebut, baru beberapa langkah ia menjauh, sebuah suara memanggilnya.

“Iko?”

“Van...” Tangisnya kembali pecah di lorong cafe ketika melihat Revan di depannya.

“Hey, I'm here.” Tanpa pikir panjang Revan langsung memeluk Jericho dengan erat. Diusapnya punggung bergetar itu untuk menenangkan temannya.

“Gue anter pulang ya?”

Jericho hanya mengangguk, karena tenaganya sudah habis. Ia juga tidak bisa pulang bersama Andovy kan?

Seseorang yang kini menjadi mantan kekasihnya.

Orang Lain.

Andovy baru saja memasuki parkiran dan memarkirkan mobilnya di deretan paling pojok, tempatnya biasa parkir. Ia mengambil semua barang-barang yang diperlukan untuk pekerjaannya nanti, terakhir Andovy memakai jam tangan mahalnya lalu beranjak keluar dari mobil.

Hatinya ringan, senyum merekah lebar, ia pikir sudah saatnya ia bangkit setelah semuanya yang terjadi.

“Andovy!”

Andovy menghentikan langkahnya ketika sebuah tangan menggenggam lengannya. Nayla yang datang entah dari mana, memeluk lengan Andovy dengan erat seakan tak ingin melepaskannya.

“Nayla?? Ngapain kamu di sini?” Setelah melihat Nayla, Andovy langsung menepis lengannya, membuat Nayla sedikit terdorong beberapa langkah.

“Aku di sini buat buktiin kalau yang selalu ada buat kamu itu aku, bukan Jericho.” Ucap Nayla tak tahu malu, membuat Andovy memutar bola matanya. Baru saja ia merasa bebannya hilang, tapi ternyata perempuan ini masih menghantuinya.

“Kamu ngerti kata udahan gak? Kita udah selesai, aku udah nurutin semua permintaan kamu selama sebulan ini, jadi kamu harus tepatin janji kamu buat pergi dari hidup aku.” Andovy masih menahan suaranya agar tak terlalu tinggi dan memancing perhatian orang-orang yang mungkin saja ada di sini.

“Enggak, aku gak mau, Vy. See? Cuma aku di sini, nemenin kamu bangkit.”

“Sick kamu.” Andovy menggelengkan kepalanya lalu mundur beberapa langkah untuk menjauhi Nayla.

Nayla menggigit bibirnya, mencari cara untuk menekan Andovy kembali. Dan ketika ia melihat sesuatu, ia tersenyum lebar. “Aku juga gak akan begini kalau kamu gak kasih aku harapan, Ovy! Kemarin kamu dateng ke aku, kamu yang kejar. Bahkan kamu selalu lindungin aku, you were the one who asked me to not leaving you anymore, you were even at my place every night, Ovy. Sekarang kamu minta aku pergi setelah semuanya?”

Nayla memandang Andovy dengan wajah sedihnya, matanya bahkan mulai berkaca-kaca. “Kamu buat aku mikir kalau kita masih mungkin, kamu yakinin aku buat nunggu kamu selesain semuanya sama Jericho, balikin nama kamu dan kembali sama aku lagi. Dan sekarang tiba-tiba kamu buang aku? Jahat kamu!” Sambung Nayla sambil menangis.

Andovy kini frustasi, mengusap wajahnya dengan kasar sambil menahan emosinya yang sudah di ubun-ubun. “Ngomong apasih?! Enough, Nay!”

“Brengsek lo!” -PLAK-

Sebuah tamparan telah mendarat keras di pipinya sebelum ia menoleh dengan sempurna ke hadapan orang lain yang berteriak.

“Gue gak tau lo bisa sebangsat ini, Vy!” Diora kembali memaki Andovy sambil menunjuk dirinya.

“Ra, Ra gue bisa jelasin, ini gak kayak yang lo liat.”

“Gak kayak yang gue liat? Gue liat semuanya dari awal, Vy. Gue denger apa yang udah lo lakuin sama perempuan sinting ini di belakan Iko.” Diora sangat amat marah, dan Andovy tahu kalau ini semua akan makin berantakan.

“Dia bohong, Ra. Gue gak kayak gitu!” Andovy berusaha menjelaskan namun Diora memotong perkataannya.

“Jahat lo! Iko khawatir tiap hari, Iko nunggu kabar lo sampe ngehubungin temen-temen lo, Iko mati-matian buat percaya kalau lo gak ngapa-ngapain di belakan dia, tapi ternyata lo selingkuh sama mantan lo. Mantan yang udah ninggalin lo di titik terendah lo. Bangsat!”

Diora memandang marah ke arah Andovy dan Nayla, sementara Nayla hanya tersenyum sambil melipat tangannya di depan dada. 'Bagus, marah terus, pojokin Ovy, kalau perlu langsung bilang ke Iko Iko itu tentang gue dan Ovy. Dengan gitu Ovy bakal tau siapa yang bener-bener selalu ada buat dia sekarang.'

“Kalau lo udah gak ada rasa sama Iko, putusin, anjing! Jangan mainin anak orang begini!”

“Gue bisa jelasin, Ra!'

“Apa? jelasin apa?! Jelasin kalo lo sama dia udah balikan?! Bukan ke gue, Vy. Lo harusnya ngomong ke Iko, lo harus jelasin semua ke Iko tentang perselingkuhan lo ini.”

“Rencananya emang Ovy mau jelasin semua ke Iko, kok. Dia bakal putusin Iko dan balik lagi sama gue.” Ucap Nayla dan membuat mata Andovy melebar.

“Oh bagus kalo gitu! Selamat ya mba perusak hubungan orang! Lo berhasil, Kalian adalah pasangan paling match sedunia. Pengkhianat dan pengkhianat, sakit lo berdua.” Ucap Diora sambil menunjuk keduanya sebelum berjalan pergi meninggalkan Andovy dan Nayla.

Keadaan basement sudah ramai oleh para karyawan yang bekerja di sini. Pertengkaran mereka tadi mengundang semua orang datang lalu merekam mereka. Andovy kembali mengusak wajahnya kasar dan berteriak keras sampai mengagetkan Nayla.

“Ra! Diora!” Andovy berlari meninggalkan Nayla untuk menyusul Diora yang sudah tak terlihat lagi, sedangkan Nayla tersenyum puas lalu membuka ponselnya, memeriksa sosial media, memantau berita dirinya dan Andovy hari ini.

“Semuanya berjalan sesuai rencana gue.”

Kalea, dan Cerita.

02:43 PM Gavin's house

Ding Dong

Terdengar langkah kaki yang berlari kecil menuju sebuah pintu besar berwarna putih, Kalea dengan senyum lebarnya menyambut Fillio setelah ia membukakan pintu besar tersebut.

“Waaww, kakak! You're cuter than your photo!!”

Begitu lah Kalea menyambut Fillio. Kalea siperiang sepupu dari Gavin, yang tentu saja baru kali pertama bertemu dengan Fillio.

“Tas nya ada di kamar kak Gavin katanya. Kakak boleh masuk dan cari sendiri. Tapi aku ikut yaa.”

“Haha kamu gemes banget. Boleh dong.”

Kalea dan Fillio berjalan menuju kamar Gavin dan langsung saja Fillio mencari bukunya di dalam tas tersebut.

“Kentemu, kak?” Tanya Kalea yang sudah duduk di atas kasur.

“Nih, hehe.” Fillio menjawab sambil mengangkat bukunya.

Setelah merapihkan kembali barang-barang milik Gavin, Fillio-pun ikut duduk di samping Kalea.

“Kalea tau gak Gavin pergi kemana?”

Kalea menoleh ketika Fillio bertanya padanya.

“Lohh kirain kakak tauu. Kakak gak nanya sendiri sama kak Gavin?” Kalea balik bertanya dan dijawab gelengan oleh Fillio.

“Gak sempet nanya tadi, buru-buru mau ke sini ambil buku soalnya.”

“Kak Gavin keluar mau beli gitar katanyaa.”

Jawaban dari Kalea membuat Fillio termenung, 'Kok Gavin gak minta ditemenin gue ya..' Ucapnya dalam hati.

“Katanya dia mau nyanyi buat orang yang dia suka pakai gitar ituuu.” Sambung Kalea.

Pikiran Fillio makin berisik. Orang yang disuka? Siapa? Kenapa ia tak tahu jika Gavin sedang menyukai seseorang?

Ah, harusnya Fillio tak usah memikirkan ini, bukankah ini yang ia mau? Fillio mau Gavin menemukan kebahagiaannya sendiri.

“Kalea tau gak siapa yang Gavin suka?”

“Memangnya kak Fillio gak tauuu?” Ucap Kalea dengan sengaja menggoda Fillio dengan mengadukan kedua pundak mereka, dan lagi-lagi Fillio menggeleng.

“Kalea tau sih kakk, cuma Kalea udah janji sama kak Gavin buat gak kasih tau ke siapa-siapa.”

Fillio-pun mengangguk mendengarnya. Ya memang tak seharusnya ia mencampuri urusan asmara teman kecilnya ini.

“Tapi Kalea akan kasih tau ciri-cirinya. Dia baik, putih!! Tinggi, ada tahi lalatnya di hidung, rambutnya hitam, lucu banget kak, manis.”

Kalea mendeskripsikan orang yang disukai Gavin dengan semangat.

“Udah pernah ketemu?” Tanya Fillio.

Kalea mengangguk semangat lagi sambil menjawab, “Udah!”

'Oh.. Udah sejauh itu yah, udah dikenalin ke keluarganya, aku aja baru ketemu Kalea hari ini.”

Fillio tersenyum lalu beranjak dari duduknya untuk pamit pulang karena ada banyak tugas yang masih harus ia kerjakan.

“Dadah kaakkk. Nanti main lagi yahh.” Kalea melambaikan tangannya mengantar Fillio pergi.

Nawa > Luna

04:15 PM at Luna's house

“Ahh ah ah-”

Kegiatan panas sepasang insan di dalam sebuah kamar mewah milik sang wanita yang sudah hampir satu tahun menjalin hubungan dengan kekasihnya itu semakin memanas bersamaan dengan bulir keringat yang terus menetes membasahi keduanya.

Ah yes, there Olik.. Ouh” Luna terus mendesah di bawah kungkungan tubuh kekar Olik yang terus menghujamnya di bawah sana.

Sesekali tubuh Luna mengejang ketika Olik menumbuk titik ternikmatnya lalu mempercepat genjotannya. Desahan keduanya pun bersahut-sahutan, membuat nafsu mereka semakin menggebu-gebu.

Ah sayang, kamu cantik banget..” Olik yang memang pandai memuji itu terus saja memuja kecantikan kekasihnya. Apalagi cahaya temaram karena lampu kamar yang sengaja dimatikan dan hanya lampu tidur yang menyala di sebelahnya, menambah kesan erotis bagi mereka.

Dan ketika Luna berteriak, Olik tahu jika kekasihnya akan 'keluar' sebentar lagi. Olik menambah kecepatannya, menikmati keindahan Luna ketika ia mengejang dan mengeluarkan seluruh cairannya, disusul Olik yang mengeluarkannya di dalam.

Tenang, mereka selalu memakai pengaman jika sedang bercinta.

“Capek, sayang?” Olik merapihkan helaian rambut panjang Luna yang menutupi wajahnya lalu mengecup bibirnya sebelum merapihkan dirinya sendiri.

“Capek, tapi enak, hehehe.” tawa Luna.

Kekehan kecil juga keluar dari bibir tebal Olik.

Setelah keduanya merasa cukup bersih, Olik kembali berbaring dan memeluk Luna dengan erat.

Keduanya hampir terjatuh tidur ketika sebuah suara notifikasi ponsel Olik berbunyi beberapa kali. Setelah mengambil ponsel dan membaca isi pesannya, Olik langsung beranjak dari tidurnya lalu memakai pakaiannya.

“Sayang? Kenapa?” Tanya Luna kebingungan melihat Olik seperti buru-buru.

“Aku kayaknya harus pergi, sayang, Nawa lagi butuh aku.”

“Tapi kita baru aja selesai loh, masa kamu mau ninggalin aku??”

“Maaf, cantik. Ini mendadak dan penting banget. Nanti aku kabarin kalau urusannya udah selesai ya? Bye.”

Olik mengecup kening Luna lalu pergi meninggalkan Luna yang terlihat kesal itu.

“Nawa lagi, Nawa lagi! Keseelll.”

-

Bohong.

“Puas?”

Andovy yang baru saja sampai itu menatap Nayla di depannya yang tersenyum lebar. Sudah bisa ditebak jika jawabannya 'sangat puas'

“Aku kangen kamu, Ovyy.” Nayla langsung memeluk Andovy dengan sangat erat dan menenggelamkan wajahnua di ceruk leher Andovy.

Andovy memutar bola matanya lalu mendorong Nayla perlahan agar melepaskan pelukannya. Sudah jengkel sekali dengan kelakuan Nayla.

Dirinya yang seharusnya berada di rumah Jericho malah berakhir di sini bersama Nayla. Ok, ini hanya agar semuanya cepat berakhir. Makin cepat Nayla pergi, makin bagus pula untuk Andovy.

“Aku udah masak masakan kesukaan kamu loh, yuk makan.”

“Aku di sini cuma buat makan malam aja ya. Setelah itu aku mau pulang, masih ada urusan lain.”

Hanya ini yang Andovy bisa lakukan, menuruti permintan Nayla.

“Tapi aku mau kamu bermalam di sini juga. Temenin aku ya?” Ucap Nayla sambil memeluk lebgan Andovy dan mengelus dada bidang itu.

“Gak, aku gak bisa, Nay. Aku udah bilang kan kalau ada urusan?”

“Kalau begitu, aku makin lama buat pergi dari hidup kamu. Aku bakal terus ada di samping kamu dan minta kamu buat terus sama aku. Kamu mau begitu?”

Andovy mengusap wajahnya kasar. Kenapa ia harus terjebak dengan wanita yang terobsesi padanya ini? Seharusnya dari awal ia tidak usah menuruti semua permintaannya.

Namun nasi sudah menjadi bubur.

“Aku tidur si sofa.”

Andovy langsung berjalan ke meja makan tanpa memperdulikan Nayla yang kegirangan.

Dalam hatinya ia terus meminta maaf pada Jericho, kekasihnya yang entah sudah ke berapa kali ia bohongi.

'Maaf, Iko. Aku janji ini gak akan lama. Aku bakal beresin ini semua.'

Can We Make It?

Wayan's house.

Mobil yang dikendarai Jericho berhenti tepat di halaman rumah Wayan, dan saat ia turun, si kecil Kala menyambutnya.

“Om Ikoo.” Seru Kala sambil berlari memeluk Jericho.

“Halo Kala, apa kabar?”

“Baikk, om Iko kesini mau ketemu sama om Ovy yaa?”

“Kala, om Iko nya suruh masuk dulu. Masa ngobrol di luar.” Naura yang berdiri di depan pintu pun bersuara.

“Hehehee, iya maah. Ayo om kita masuk!”

Jericho hanya mengangguk dan tersenyum lalu mengikuti langkah Kala yang sudah lebih dulu memasuki rumahnya.

“Mba kira kamu udah gak mau kesini lagi.” Ucap Naura setelah keduanya duduk di ruang tengah.

“Maaf mba. Sebenernya hubungan aku sama Ovy sempet gak baik. Pas aku mau ke sini juga masih banyak wartawan, jadi aku nunggu biar agak sepi dulu.”

Sebetulnya Jericho juga merasa bersalah karena tak datang lebih cepat. Namun keadaan juga memaksanya untuk diam ditempat.

“Enggak apa-apa, yang penting kamu ada di sini sekarang.”

“Gimana keadaan Ovy, mba? Dia baik-baik aja kan?”

Naura mengalihkan pandangannya, menatap pintu kamar Andovy lalu kembali pada Jericho.

“Dia masih gak mau keluar selain buat makan, Ko. Itupun kalau mba gak panggil buat makan, dia gak akan makan.”

Jericho ikut memandang sedih daun pintu berwarna hitam itu.

“Aku boleh masuk mba?” Tanya Jericho.

“Boleh. Mba harap juga kedatangan kamu bisa bangkitin semangat dia lagi.”

“Iya, aku bakal berusah, mba.”

Jericho mulai beranjak dari duduknya, kakinya melangkah maju hingga dirinya sampai di depan kamar lelaki yang menguasai hatinya itu.

knock, knock

Ketukan pintu menyadarkan Andovy dari lamunannya. Ponsel yang digenggamnya menampilkan room chat whatsapp milik perempuan bernama Nay. Mantan kekasihnya. Entah kenapa saat ini hanya ada perempuan itu dipikirannya. Entah kenapa juga Andovy ingin sekali melempar dirinya, melempar hargadirinya pada wanita itu. Kiranya hanya Nayla lah satu-satunya orang yang akan mengerti dia.

knock, knock

Suara ketukan pintu kembali terdengar untuk yang kesekian kalinya karena tak kunjung dibukakan oleh sang empunya kamar. “Ovy, ini aku..”

Seketika tubuh Andovy menegak, kepalanya menoleh dengan cepat menatap pintu setelah mendengar suara yang lama tak menyapa telinganya.

“Iko?” Lirihnya

“Ovy, aku boleh masuk?” Suara Jericho kembali terdegar.

Andovy langsung beranjak dari duduknya dan cepat-cepat membukakan pintu untuk Jericho.

Benar saja, ketika pintu itu terbuka, sosok Jericho telah berdiri di hadapannya. Sosok yang sempat terlupakan olehnya itu ternyata masih perduli padanya.

Setelah pintu kembali tertutup, tanpa bicara, Andovy menarik Jericho masuk ke dalam pelukannya. Jericho-pun masih diam, membiarkan Andovy memeluknya dengan begitu erat, kepala itu bersembunyi di pertemuan leher dan bahu Jericho.

Tanpa ditanya pun Jericho tahu pelukan ini berbeda. Bukan pelukan nyaman yang biasa Jericho dapatkan. Namun pelukan gelisah seolah mencari tempat aman untuk bersembunyi.

“Apa yang aku takutin kejadian, Ko. Semuanya hancur sekarang.”

Jericho mengeratkan pelukannya, mengusap punggung lebar itu terus menerus. Suara lirih Andovy sangat menyayat hati Jericho.

“Ayo kita duduk dulu.”

Jericho melepas pelukannya dan membawa Andovy untuk duduk di atas kasurnya sendiri.

Jericho mengambil segelas air yang berada di nakas lelaki ini, lalu menuntun Andovy untuk meminumnya dan kembali menaruhnya di sana.

Matanya tak putus memandang wajah lelaki yang ia cinta itu. Wajah yang biasanya tegas itu kini layu seperti tak punya semangat hidup.

Jericho menangkup kedua pipi Andovy, mengusapnya dengan ibu jarinya. Memandang sendu kedua bola mata legam milik kecintaannya.

“Kamu kurus banget, Vy. Makan ya? aku temenin.” Tawar Jericho, dan disambut anggukan oleh Andovy. Hal itu membuat senyum senang milik Jericho mengembang.

Ketika senyum itu melebar, Andovy meraihnya. Mengelus lesung pipi manis Jericho.

“Maafin aku..” Lirih Andovy lagi.

“Gak apa-apa. Kamu gak perlu minta maaf, aku tau kamu ketakutan. Tapi sekarang ada aku, aku di sini, Vy. Sama kamu terus, jangan pernah merasa sendiri. Jangan pernah bilang kayak gitu lagi, karena aku gak akan sekalipun ninggalin kamu.”

Setetes air mata mengaliri pipi Andovy. Untuk apa mengharapkan yang sudah pergi untuk kembali jika ia punya sosok Jericho di sampingnya. Untuk sesaat Andovy merasa bersalah karena malah memikirkan wanita lain saat Jericho jauh. Terlebih wanita itu sudah tega mengkhianatinya.

“Nangis aja sepuas kamu, tapi habis ini bangkit ya? Kita bangkit sama-sama.”

Anggukan menjadi jawaban atas ajakan Jericho. Andovy kembali berhambur ke dalam pelukan Jericho, aman yang selama ini ia cari telah ia temukan. Tempat terbaik untuk bersembunyi.

“Gak apa-apa, nangis aja.” Tangannya terus mengusap kepala Andovy sedang tangan yang lain memupuk bahunya.

Jericho bisa merasakan bahunya basah akan air mata Andovy. Ia kecup pipi itu dengan lembut tanpa melepas pelukannya, berharap bisa sedikit menenangkan Andovy.

“Makasih kamu masih mau dateng ke sini.”

“Iya, Vy. Aku minta maaf juga karena lama datengnya. Habis asal kamu tau, wartawan tuh ada di depan rumah kamu seminggu penuh. Gila apa ya.” Gerutu Jericho.

Andovy melepas pelukan erat itu dan menghapus air matanya.

Jericho menggenggam tangan Andovy dengan erat, meyakinkan Andovy kalau ia tidak sendiri.

“Ya no wonder sihh kenapa mereka sampe segitunya sama kamu, artis nomor satu di Indonesia lagi kesandung nih bos. Sipaling dicari-cari.” Canda Jericho.

“Emang boleh sepaling dicariin ini?”

Tawa renyah kini terdengar atas candaan masing-masing. Jericho bersyukur Andovy kembali bisa tertawa.

“Kita berjuang ya? aku yakin ini ada jalan keluarnya. Kamu gak boleh nyerah gitu aja.”

Mereka saling pandang selama beberapa detik tanpa bicara. Jericho menatap mata penuh takut itu dengan lembut, sedangkan Andovy menatap mata yang memancarkan binar kehangatan. Tempat paling aman untuknya.

Hingga aggukan Andovy membuat senyum Jericho makin melebar.

“Habis ini kita pikirin jalan keluar terbaik, kita susun rencana untuk ngelurusin masalah ini.”

Mereka kembali diam.

“Kalau ternyata anak itu adalah benar anak aku, apa kamu bakal ninggalin aku?”

“Aku gak akan tega ngeliat anak dan ayahnya berpisah, kalau bener anak itu adalah anak kamu, aku akan mundur jika untuk kebaikan kita semua. Tapi kamu juga harus lanjutin hidup. Jangan kayak gini lagi. Ada anak kamu yang butuh kasih sayang kamu.”

Meski penuh sesak, namun Jericho menahannya.

“Hmm, lagian itukan baru kemungkinan. Masih banyak kemungkinan lain didepan sana yang gak kita tahu, Ovy.” Jericho merapihkan rambut Andovy yang sedikit berantakan itu, lalu kembali mengelus pipinya.

“Makasih ya. Makasih karena kamu gak milih pergi dan ninggalin aku.”

“Aku kan udah bilang kalau sekarang kamu punya aku yang bakal selalu temenin kamu ngelaluin apapun.” Ucap Jericho.

Tangan kekar itu terangkat mengusap wajah Jericho, membawa wajah mereka untuk mendekat hingga kedua mata mereka menutup untuk menyambut sebuah kecupan ringan nan manis di bibir masing-masing.

Sebuah kecupan singkat cukup untuk menghantarkan perasaan cinta mereka saat ini. Setelah Andovy melepas ciumannya, Jericho-pun berkata;

“Sekarang kita makan yuk? Aku bawain masakan mamah, kamu pasti suka.” Ucap Jericho sambil berdiri menggenggam tangan Andovy.

Andovy tersenyum lalu mengangguk, ikut beranjak dari duduknya lalu keluar kamar bersama Jericho dan menuju meja makan untuk makan bersama.

-

Martabak Cokelat Keju.

07.00 PM

“Martabak dataangg”

Suara Oliver memenuhi ruangan bersamaan dengan langkah kaki telanjangnya yang besar dan penuh semangat, menjinjing plastik bening berisikan martabak pesanan kekasih tercinta.

“Sini, biar mama yang siapin. Nathan nya masih mandi kayaknya.”

Ninda menghampiri Oliver, mengambil alih plastik itu seraya tersenyum dan merapihkan helai rambut pemuda yang sudah ia anggap sebagai anaknya ini.

“Halo adik bayii. Abang udah bawain martabak pesenan adik bayi.” Kekehan Ninda tak bisa disembunyikan ketika Oliver mengelus perut buncitnya.

Usia kandungannya sekarang sudah menginjak enam bulan, perutnya makin membesar dan syukurnya anak di dalam kandungannya baik-baik saja. Tumbuh dengan sehat didampingi para lelaki yang sangat menyayanginya.

“Ini pasti Nathan yang kasih tahu.”

“Hahaha iya mah.”

“Payah tuh ayah kalian, masa beliin martabak aja lupa terus.” Gerutu candaan terdengar dari Ninda.

“Terimakasih ya, abang kecil.”

“Ohh Oliver aja yang dapet terimakasih?” Tiba-tiba sebuah suara terdengar dengan nada merajuk.

Nathan datang dengan bibir yang mengerucut.

“Abang besar juga, terimakasih yaa.” Ninda tersenyum sambil mengelus pipi Nathan yang membuat bibir mengerucut itu berubah menjadi senyum lebar nan indah.

“Oh iya, Ver. Papa mau ngomong tuh katanya.”

“Aduh deg degan.”

“Lebayyy. Udah sanaa.”

Setelah tau dirinya ditunggu oleh ayah dari kekasihnya, Oliver pun berjalan menjauhi Nathan dan Ninda. Berjalan menuju taman belakang tempat Tama duduk menunggu Oliver.

“Pah. Katanya ada yang mau di omongin?” Ucap Oliver ketika dirinya sudah duduk berdampingan dengan Tama.

Tama menatap Oliver sepersekian detik dan mengacak rambut Oliver seperti anak kecil.

“Kalo nanti di rumah kesepian, bisa nginep di sini.”

Ucapan Tama membuat Oliver mengernyitkan dahinya.

“Saya tau, papah kamu akan pindah ke Singapura.”

“Tau dari mana pah?? Ini dia ada apa-apa ya sama Nathan?? Papah juga kenal sama dia? Pah Oliver minta maaf kalau diaㅡ”

“Kami bertemu beberapa kali. Papahmu juga menitipkan kamu ke saya. Sekarang kamu adalah tanggung jawab saya. Jangan khawatir, papahmu orang baik. Dia juga banyak bercerita, dan dia bilang dia sangat sayang sama kamu.”

Oliver masih mencerna perkataan Tama. Papahnya menemui Tama? Bercerita dan menitipkannya pada keluarga ini?

Sudah sejauh ini kah yang ia tidak tahu?

“Gak usah khawatir mulai sekarang. Jangan raguin lagi kasih sayang papahmu.”

Tama menepuk bahu Oliver.

“Antar dia, dan kunjungin jika kamu nanti kangen. Jangan sia-siakan kesempatan selagi ia masih ada.”

Tama tersenyum ketika melihat setetes air mata mengaliri pipi Oliver namun dengan cepat ia menghapusnya.

“Terimakasih pah.” Tama memberikan pelukan hangat seakan tanda bahwa Oliver resmi menjadi bagian dari keluarga kecil mereka.

“Martabaknya udah disiapin nih. Ayo makan, nanti keburu dingin. Gak enak dehh.”

Ninda yang datang dari arah belakangpun mengusap kepala hingga bahu Oliver, memberikan Oliver tambahan rasa kasih sayang sebelum mereka beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam rumah.

Namun kaki Oliver tidak melangkah. Ia menatap punggung dua sosok orang tua barunya. Orang tua yang yang mengenalkannya pada rasa kasih sayang.

Lalu matanya bergulir melihat Nathan yang berdiri di depan pintu, menunggu Oliver untuk masuk dengan senyum hangatnya. Tangan Nathan terakngat terulur perlahan dan saat itu juga Oliver berlari menuju pelukan Nathan.

“Welcome home, Oliver.”

Pelukan erat dan usapan-usapan lembut yang membuat Oliver terhanyut dalam hangat kenyamanannya. Tak akan Oliver mau menjauh atau barang sedetik saja melepaskannya.

Sekarang dia benar-benar punya rumah untuk pulang.

Sedikit Kebelakang

Nathan menerima kecupan dari Oliver kala kekasihnya berpamitan pulang. Setelah bibir, kini kening Nathan menjadi sasarannya, rambutnya diusak perlahan.

“Kamu yakin gak apa-apa kalo aku pulang?” Oliver bertanya seraya menatap dalam mata kekasih yang sangat dicintainya itu.

“Gak apa-apa sayang. Lagian kan aku udah mendingan, ada ayah sama mama juga kan yang temenin aku.” Nathan mengusap kedua pipi Oliver untuk mengusir rasa khawatir kekasihnya.

“Yaudah, aku pulang dulu ya. Nanti aku kesini lagi.”

“Ok sayangku.”

Sepeninggalan Oliver, kamar rawat Nathan menjadi sepi. Ya, itu karena kedua orangtuanya sedang berada di luar untuk sarapan bersama.

Sejak dirinya bebas dari Bintara, Nathan langsung dibawa ke rumah sakit karena ada indikasih trauma ringan pada Nathan. Belum lagi Nathan juga terluka dan Tama tidak akan membiarkan anak kesayangannya begitu saja.

Tak berapa lama pintu kamarnya pun terbuka, senyum Nathan yang tadinya merekah karena ia kira yang masuk adalah orangtuanya memudar ketika ia tahu siapa yang sebenarnya masuk.

Orang itu datang menghampiri Nathan, menatap Nathan dengan tidak berekspresi.

“Om...” Suara Nathan memecah keheningan mereka.

“Ini pertemuan pertama kita, bukan? Tapi saya yakin kamu tahu betul siapa saya.”

Suara yang sangat mengintimidasi Nathan.

“Saya tidak akan lama, saya hanya ingin mengatakan bahwa hubungan kalian tidak akan berjalan seperti semestinya. Oliver yang saat ini bukan Oliver yang sesungguhnya. Dia penuh luka dan mentalnya tidak stabil.”

“Saya tau itu, om. Tapi sungguh, Oliver sudah jauh lebih baik-”

Kalimat Nathan tak sampai selesai karena pintu kamarnya kembali terbuka. Dan kali ini adalah ayahnya.

“Saya rasa tidak sopan kita sebagai orangtua mencampuri urusan anak-anak kita.”

Suara Tama tegas karena juga ingin melindungi anaknya. Kedua orangtua itu bertatapan dan Tama kembali melanjutkan kata-katanya.

“Saya Tama, ayah dari orang yang sangat dicintai putra anda. Jika tidak keberatan boleh kita bicara? Itu terdengar akan jauh lebih adil.”

Ninda yang sedari tadi berdiri di pintu pun masuk menghampiri Nathan, membelai surai anaknya untuk menenangkan Nathan bahwa semua akan baik-baik saja.

***

Kini kedua lelaki dewasa itu sudah duduk di taman rumah sakit yang sunyi ditemani kicauan burung. Tak ada yang memulai pembicaraan. Kira-kira sudah lima menit.

“Kapan terakhir kali anda bertanya akan kabar anak anda sendiri?” Suara Tama menginisiasi pertanyaan menohok yang tidak bisa dijawab sama sekali.

Kapan? Tidak tahu. Mereka satu rumah namun tak saling sapa. Mereka satu meja makan namun makan dijam berbeda. Mereka saling melihat namun tak terlihat.

Hubungan anak dan orangtua macam apa itu?

“Anda pernah bertanya bagaimana Oliver melewati harinya? Bertanya bagaimana dia bisa bertahan sejauh ini sementara tak mendapatkan apa yang menjadi haknya sebagai seorang anak.”

Keangkuhan di wajahnya memudar, namun egonya masih tinggi.

“Oliver anak saya. Saya tahu apa yang saya lakukan padanya.”

“Sejak berpacaran dengan Nathan, Oliver juga sudah menjadi anak saya. Saya merasa kasihan dengannya karena tak mendapatkan kasih sayang dari orang yang seharusnya selalu memberikan dia rasa aman. Dan saat dia sudah mendapatkan itu semua di tempat lain, anda ingin menghancurkannya?”

Mata Tama memandang lurus pada lelaki yang ternyata lebih tua darinya ini, sedikit api tersulut karena ekspresi orang disebelahnya hanya datar.

“Belum cukup anda menyiksa mentalnya? Membuatnya merasa tidak diinginkan dan dibenci selama hidupnya? Saya tidak ingin mencampuri kehidupan pribadi anda, namun anda sudah berani menghampiri anak-anak saya seperti itu, jadi saya harus bertindak.”

“Tiap melihat wajanya, saya selalu teringat jalang yang mencampakkan keluarganya sendiri.”

“Dan anda menjadi bajingan yang mencampakkan anak sendiri. Jika ingin membenci, bencilah orang itu. Jangan anakmu! Oliver bahkan tidak meminta untuk dilahirkan. Dia hanya ingin kasih sayang dari ayahnya walaupun ia tahu itu sangat mustahil.”

Tama berdiri dari duduknya, menepuk bahu ayah Oliver seraya berkata, “Jika tidak bisa memberikannya kebahagiaan, jangan pernah menghalanginya mencari kebahagiaannya sendiri.”

Tama meninggalkannya sendirian, termenung menatap langit lalu mengambil sesuatu dari saku jasnya.

“Begitu keraskah aku terhadapmu sampai kau harus meminum obat-obatan ini?”

Matanya nanar menatap butir-butir obat atas nama Oliver ditangannya. Entah darimana ia dapat namun sekarang ia mengetahui sebesar apa luka yang ia berikan pada tunggalnya.

“Maaf... Saya bahkan tidak pantas dipanggil ayah.”

Fight

Saat ini Oliver bersama dengan Julian, Nanda, Dafa serta Evlyn berada di sekitar rumah Nathan namun tak bisa mendekat karena area sekitar sudah disterilisasikan. Tak ada yang bisa kesana selain para polisi yang sedang berusaha menyelamatkan Nathan.

Situasi menjadi semembahayakan ini ketika Bintara mengetahui polisi sudah mengepungnya, senjata api sudah bersiap bahkan beberapa tembakan sudah keluar. Oliver tak akan bisa tenang mendengarnya.

Mereka tidak bisa menerobos masuk karena tidak tahu apa yang Bintara punya di dalam, dan lagi, nyawa Nathan adalah prioritas mereka.

“Ver! Papahnya Nathan!” Ucap Dafa ketika melihat Tama datang dengan berlari.

“Pah. Maaf, maafin Oliver gak bisa jagain Nathan. Semuanya salah Oliver.” Tama yang sama paniknya dengan Oliver pun memeluk Oliver erat sembari mengelus punggungnya. Dan saat itu Oliver menangis, mengeluarkan air matanya.

“Tenang ya, Nathan pasti selamat. Dia anak pinter pasti dia bisa ngatasin ini di dalam sana.” Tama menepuk pipi Oliver menyadarkannya dari ketakutan. Menguatkan Oliver.

“Tenang aja om. Om saya polisi hebat, dia pasti bisa nyelametin Nathan.” Julian bersuara.

Ya, yang sedang bertugas di sana adalah paman dari Julian, seorang polisi hebat dengan berbagai penghargaan karena berhasil melumpuhkan banyak pelaku kejahatan dan memacahkan kasus penculikan.

“Saudara Bintara! Dimohon untuk segera menyerah sekarang juga!”

Teriakan polisi membuat semua mata kembali tertuju pada rumah Nathan yang ternyata Bintara sedang mengamati dengan wajah tenang di balik jendela kamar Nathan. Sejauh ini Nathan belum terlihat sama sekali.

Setelah Bintara terlihat, Oliver langsung berlari mendekat. Menerobos semua polisi yang menahannya.

“Nath! Nathan kamu baik-baik aja kan? Sayang tenang ya! Aku disini! Aku bakal selametin kamu!”

Suara teriakan Oliver membuat bintara muak dan kembali menjauhi jendela. Ia medekat kearah Nathan yang masih berbaring dan dengan tiba-tiba menyerahkan ponsel Nathan.

“Telfon bajingan itu, suruh dia mundur atau aku akan berbuat nekat. Kamu tau kan aku juga punya pistol? Aku bisa tembak dia kapan aja aku mau.” Dengan suara dingin Bintara menyodorkan ponsel Nathan.

Nathan tak bisa melakukan apa-apa selain menurut. Keselamatan Oliver lebih penting daripada nyawanya. Nathan mulai menekan nomor Oliver dan menghubunginya, tak butuh waktu lama Oliverpun menjawab panggilannya.

“Sayang! Sayang kamu gak apa-apa kan? Nath?”

“Ver, aku gak apa-apa sayang. Aku baik.”

“Sibangsat itu masih ada di deket kamu?”

“Huum, iya Ver.”

“Anjing!”

“Ver! Dengerin aku ya. Kamu harus tenang, kamu yang tau rumahku, tolong, please, demi keselamatan kamu, kamu harus mundur. Aku gak apa-apa, Ver.”

“Hah?! Apa-apaan?! Gak! Aku gak mau!” Wajar saja jika Oliver sangat marah dengan apa yang dikatakan Nathan kepadanya.

“Ver, dia punya pistol. Dia bisa bunuh kamu kapan aja.'

Tak ada jawaban lagi dari Oliver. Hanya terdengar suara para polisi yang ternyata juga mendengar percakapan mereka.

“Jawab aku, sekarang dia lagi pegang pistolnya?” Oliver mulai tenang.

“Engga. Please Ver, kamu tau rumahku.”

“Iya sayang. Aku tau.”

“Udah cukup! Lo denger sendiri? Nathan minta lo mundur jadi mending sekarang lo suruh polisi-polisi gak guna itu buat pergi dari sini! Gak ada gunanya lagi! Nathan udah milih gue daripada lo!” Ponselnya direbut begitu saja dari Nathan dan langsung dimatikan setelah ia berbicara seperti itu.

“Thank, Nathan. Aku janji habis ini gak ada yang ganggu kita. Kita akan pergi dari sini.”

-brak!!”

“Angkat tangan!”

Semua terjadi begitu cepat. Para polisi itu sudah masuk dan menyergap Bintara yang tidak sempat mengambil pistolnya.

“Nathan!”

Oliver berlari memeluk Nathan dan akhirnya Nathan bisa bernafas lega karena ia kembali ke dekapan kekasihnya.

“Sayang, sayang. Aku disini. Jangan nangis ya.”

Kata-kata penenang Oliver ucapkan dan tak memperdulikan teriakan Bintara dengan sumpah serapahnya.

Semua sudah kembali, Nathan sudah selamat dan Bintara sudah diamankan.

“Abang!” Ninda dan Tama juga berlari dan memeluk Nathan. Oliverpun melepaskan pelukannya, memberikan keluarga kecil itu ruang untuk memeluk anak lelaki mereka.

FLASHBACK

Nathan berlari setelah mengingat lampu di kamarnya adalah pemberian Bintara, mengangkat lampu itu lalu memeriksanya, sekilas memang tidak terlihat mencurigakan, namun ketika Nathan membukanya ternyata di dalam lampu tersebut terdapat sebuah kamera yang masih menyala. Menandakan benda itu aktif dan selalu merekam aktifitasnya selama ini.

Bohong jika Nathan tidak takut, tangannya sedikit gemetar memegang kamera berukuran kecil itu.

“Jadi ini alasannya kenapa dia selalu tau gue lagi apa? You are fucking psycho, Bintara!”

Setelah mengabari Dafa dan lainnya, Nathan bersiap-siap untuk keluar dan tinggal sementara di rumah orang tua ya. Dirinya tidak aman untuk saat ini jika tinggal sendiri.

Secepat kilat ia berlari keluar menuju mobilnya. Ia hanya ingin cepat keluar dari rumah dan merasa aman.

“Kenapa buru-buru, hm? Mau aku anterin?”

Sial! Orang itu mengetahui semuanya.

Kakinya lemas melihat lelaki yang memakai hoodie hitam itu berdiri di samping mobilnya. Nathan tak bisa kemana-mana lagi.

“Gak usah buru-buru, sayang. Gak akan ada yang ganggu kita.”

Nathan tahu ia tidak bisa melawan. Keadaan sudah malam, sepi dan gelap. Tubuhnya pun jauh lebih kecil dibanding lelaki dihadapannya ini.

Sekarang ia menyesali keputusannya untuk tidak mengabari Oliver.

Bintara berjalan mendekati Nathan, menyentuhnya di pipi lalu turun menjalari lengan hingga pergelangannya.

“Aku gak bisa jamin keselamatan kamu kalo kamu teriak.” Ucap Bintara bersamaan dengan lengannya yang sudah melingkar sempurna di pinggul Nathan.

“Disini dingin, gimana kalau kita masuk? Kayaknya dipeluk kamu bakal terasa nyaman.”

Nathan hanya bisa menurut saat Bintara menariknya masuk, mengunci pintu dan membawanya ke dalam kamar.

“Jadi disini ya tempat cowok bajingan itu menyentuh punyaku?”

Nathan menatap ngeri kepada Bintara yang berjalan mengelilingi kasurnya.

Malu. Nathan sangat malu mendengar kenyataan bahwa kegiatannya panasnya bersama Oliver kala itu menjadi tontonan lelaki psikopat di hadapannya.

“Kenapa harus kebongkar, Nath? Kamu sebenarnya gak perlu tahu ini semua. Sedikit lagi aku bisa rebut kamu dari cowok itu, tapi sekarang semuanya kacau.”

“Why are you so obsessed with me?”

Bintara berhenti lalu memandangi Nathan dari ujung kepala hingga kaki.

“Because you are mine.”

“I'm not yours! And never be yours! You have to face it, mas!”

“NO!” Nathan terkejut mendengar suara Bintara meninggi dan melangkah mundur saat Bintara mendatanginya penuh emosi, membuatnya terkurung di antara tembok dan tubuh besar itu. Mencengkram kedua pipinya lalu berkata,

“You are forever mine. Gak ada yang bisa misahin kita sayang.”

“Oliver bakal dateng kalo dia tau semuanya.”

“Oh, kamu tenang aja. Kalau dia tahu, dia gak akan bisa kesini. Karena sebelum dia bisa kesini, bisa aku pastiin dia udah kehilangan nyawanya.”

“No, please no. Oliver gak salah apa-apa. Please leave him alone!”

Cengkraman di pipinya mengendur digantikan dengan usapan yang sarat akan dominasi. Nathan menggigil ketakutan hingga tak terasa air mata nya menetes. Dan sialnya hal itu membuat Bintara senang.

“Then, stay with me. And be a god boy. I'll give you everything you want, yang gak bisa bangsat itu kasih.”

Apapun asal Oliver tetap aman, akan Nathan lakukan.

***

Sudah berhari-hari Nathan dan Bintara tinggal bersama. Terjebak bersama seseorang yang memiliki obsesi terhadap dirinya. Tak sedetikpun Bintara meninggalkan Nathan sendiri, ini menyulitkan Nathan untuk memberi tahu Oliver dan para sahabatnya. Apapun yang Nathan lakukan selalu diketahui Bintara.

Namun Nathan tak menyerah, Nathan selalu memberikan Oliver signal dengan melarang Oliver menemuinya. Karena setahu Oliver, dirinya sudah berada di rumah orang tuanya.

Nathan berharap Oliver bisa mengerti dan menaruh curiga. Walaupun lama, Nathan akan sabar menunggu.

Disamping itu, Bintara memang memperlakukannya dengan baik. Selama tidak membantahnya.

Jika Nathan menolak apa yang Bintara minta, Bintara akan marah, berteriak di wajah Nathan lalu tak lama tersadar dan memeluk Nathan sambil meminta maaf.

Tak ada cara lain selain menurut. Nathan juga tidak ingin tinggal nama nantinya.

Dan akhirnya harapan dan titik terang muncul ketika Oliver mengirimnya pesan jika Ninda mencarinya dan memberi kabar jika ia sama sekali tidak pulang ke rumah.

Melihat Bintara di dapur dan tidak memperhatikannya, Nathan buru-buru mengetik balasan agar Oliver menghubungi Evlyn karena ia tidak akan sempat jika harus menceritakan semuanya.

Dan benar saja, sesaat setelah ia menekan opsi 'send', ponselnya telah di rebut Bintara.

“Fuck! Why Nath?! You hurting me!”

“No, fuck you-”

“Oh, yes. I'll fuck you!”

Bintara menatap layar ponsel Nathan dengan emosi, dan tapa berpikir panjang ia mengetik balasan untuk Oliver dan mengirim pesan suara.

“You should stay away from Nathan. Karena Nathan udah sama gue, dia milik gue disini. Dan gak usah coba-coba buat ngelakuin hal bodoh atau gak ada diantara kita yang dapetin dia.”

Tatapan mata Bintara berubah menjadi lebih menakutkan dari biasanya, dengan marah Bintara menarik lengan Nathan dan menyeretnya untuk masuk ke dalam kamar.

“Aku bilang, jangan pernah berhubungan lagi sama dia, Nathan! I've told you a thousand times! YOU ARE MINE!”

“And I've told you fucking many times, I'll NEVER be yours, you fucking psychopath!”

-BUGH!-

Nathan terkapar tak sadarkan diri setelah Bintara menamparnya.

“Nath... Nathan, Nathan! Aarghh!”

Ditengah kepanikan, Bintara membawa Nathan berbaring di kasurnya. Bintara kehilangan kontrol diri melihat darah keluar dari sudut bibir Nathan, namun yang ia lakukan selanjutnya malah mengikat kedua tangan Nathan.

Tak tahu sejauh apa yang akan ia lakukan. Yang Bintara mau hanya Nathan menjadi miliknya, ia juga tidak menyangka akan bertindak sejauh ini.

“We have to go, Baby. Kita pergi ya? Pergi yang jauh sampe gak ada satupun orang yang bisa temuin kita.