The Last.

Sesuai janjinya, Andovy datang menjemput Jericho. Tangannya berkeringat, senyumnya kikuk, menerawang entah apa yang akan ia hadapi nanti. Apakah caci dan makian dari Jericho? Atau hal-hal lain yang lebih buruk? Yang jelas Andovy tidak akan menyia-nyiakan kesempatannya ini. Kesempatan yang mungkin bisa merubah nasib hubungan mereka berdua menjadi lebih baik.

Ketika Andovy melihat Jericho keluar dari rumahnya dan berjalan ke arahnya, ia langsung merapihkan bajunya. Tersenyum sehangat mungkin walaupun tak mendapatkan balasan yang sama manisnya.

Andovy menatap Jericho yang kini berada di hadapannya lalu menyerahkan buket bunga tulip yang sedari tadi ia genggam pada Jericho. “Selamat ya, maaf aku baru kasih hadiah sekarang. Sebenarnya aku beli juga kemarin, cuma bunganya layu jadinya aku beli lagi yang baru, hehe.”

“Ayo jalan sekarang, keburu kemaleman.” Suara dingin Jericho membuat senyum Andovy memudar namun dengan cepat ia mengubah raut wajahnya, tak ingin ini semua berantakan. Bagaimanapun ia pantas mendapat respon seperti itu dari seseorang yang masih menjadi kekasihnya.

“I-iya, ayo sayang.” Andovy buru-buru membuka pintu mobil dan mempersilahkan Jericho masuk.

Setelah ia menutup pintu mobil, Andovy berlari untuk ikut masuk dan duduk di belakang kemudi. Saat ia hendak memasangkan seatbelt untuk Jericho, secepat itu juga Jericho menarik seatbelt dan memasangnya sendiri tanpa menoleh dan menatap Andovy.

Lagi dan lagi senyum pahit terpatri di wajah tampan Andovy, ia kecewa, namun ia tahu bahwa rasa kecewa Jericho lebih besar lagi dari ini.

Perjalanan menuju cafe nampak senggang walaupun dijam sibuk, keadaan di dalam mobil-pun sunyi sepi. Baik Jericho maupun Andovy tak ada yang memulai obrolan.

Jericho menatap buket bunga di pangkuannya, sedang pikirannya berisik. Harusnya ia bahagia bukan? Harusnya ia berterima kasih. Namun tiap kali memikirkannya, dadanya kembali sakit, sesak bahkan mual. Ternyata Andovy tak hanya menyakiti hatinya, namun juga mentalnya.

Di dalam buket itu ada sepucuk surat bertuliskan 'Congratulation, love! You are amazing, I love you to the moon and back!'

Tak terasa air matanya jatuh namun buru-buru ia seka. Tak ingin terlihat lemah di depan Andovy.

“Kita mau ke mana dulu nih? Mau nonton sama aku?” Pertanyaan Andovy terdengar dan langsung dijawab gelengan oleh Jericho.

“Langsung ke cafe aja.”

Sebelumnya Jericho tak pernah sesingkat ini menjawab pertanyaannya.

'Ovy, apa yang lo lakuin! Lo udah nyakitin dia!'

. . . . .

Makanan yang disuguhkan kini telah habis seluruhnya, Andovy dan Jericho makan dengan suasana dingin walaupun lilin malam menyala di tengah-tengah mereka.

Setelah menyeruput kopinya, Jericho menarik napas panjang nan dalam lalu menghembuskannya perlahan. Akhirnya hari ini tiba juga, hari yang sebetulnya sangat ditakuti Jericho.

“Jadi dia udah kembali ya? Tugasku udah selesai?” Tidak, akan lebih baik bagi Andovy mendengar caci maki dari Jericho daripada mendengar suara lirih menyayat hati itu. Lebih baik ia diteriaki, kalau perlu pukul saja Andovy.

“Gak, gak ada yang kembali. Adanya kamu, kamu gak akan terganti. Maafin aku, aku... Aku khilaf, aku gak bermaksud buat mainin kamu, gak ada sama sekali, sayang. Aku bener-bener sayang sama kamu, aku cinta sama kamu.”

Jericho sekuat tenaga menahan amarah, sedih, kecewa yang berkecamuk dalam hatinya. Dengan suara lirih, ia kembali berbicara. “Apa selama kamu menghilang, kamu bersama dia? Hari dimana kamu gak dateng dinner waktu itu, kamu juga lagi sama dia? Urusan mendadak yang bikin kamu lupain aku juga.. Apa itu karena dia?”

Jericho menatap Andovy dengan berkaca-kaca. Hatinya berteriak 'Please, jawab enggak. Kamu tahu kalau kamu bohongpun aku akan tetep percaya kamu.'

Namun yang ia dapatkan adalah anggukan lemah dari Andovy, dan seketika air matanya jatuh.

“Maafin aku, Iko.. Maaf.. Aku tau aku bodoh, aku tolol udah ngelakuin itu semua ke kamu. Aku minta maaf.” Wajah sedih itu terangkat dari tunduknya, tangannya terulur untuk meraih jemari Jericho namun dengan cepat pula Jericho menarik tangannya.

“Did you sleep with her?”

Untuk terakhir kalinya Jericho berharap bahwa jawabannya adalah tidak.

“Iko... Sayang..”

“Please... Did you?”

Keringat dingin membasahi tangannya yang sedari tadi ia genggam erat, bibirnya ia gigit demi menahan air mata yang terus memaksa keluar. Detik demi detik terasa melambat saat ia menunggu jawaban terakhir dari kekasihnya.

“I'm so sorry..” Andovy kembali menundukkan wajahnya tak berani menatap Jericho yang memandangnya dengan penuh kecewa.

“I DON'T NEED YOUR SORRY! JUST ANSWER ME!” Teriakan Jericho akhirnya lepas, beruntung mereka berada di dalam ruang VVIP yang artinya tak ada orang lain selain mereka.

“Yes.. I slept with her. I'm sorry, Iko. Aku bener-bener khilaf. Aku sadar itu semua dan aku berusaha buat akhirin semuanya, aku gak mau sama dia. Yang aku mau cuma sama kamu, tapi cewek itu terus maksa aku.” Runtuh sudah dunianya.

“Dan kamu korbanin aku demi dia? Kamu khianatin aku, kamu sakitin hati aku demi perempuan itu, Ovy!” Sesak rasanya berbicara dengan penuh air mata.

“Memang di sini aku yang bodoh. Seharusnya dari awal aku sadar kalau orang yang belum selesai sama masa lalunya gak akan pernah bisa menghargai apa yang dia punya saat ini. Berkali-kali kamu bohongin aku, aku tetep percaya! Selama ini aku bertanya-tanya ke diri aku sendiri, aku kurang apa sama kamu, apa aku ada salah? Apa aku yang terlalu meragukan kamu? Aku percaya sama semua omongan kamu yang ternyata bullshit.”

Yang Jericho rasakan saat ini hanya mual karena emosi yang terus membuncah. Sesungguhnya ia tidak pernah sanggup untuk menghadapi ini semua.

“Ternyata aku selalu kurang di mata kamu, ternyata aku belum begitu penting di hidup kamu.”

“Kenyataannya, aku kalah. Aku kalah dengan masa lalu kamu.”

“No! No, no, no, aku gak cinta sama sekali sama dia, kamu satu-satunya orang yang berarti di hidup aku Iko. Tolong, for the last time, believe me. Aku rela berkorban apa aja demi kamu, Iko.”

Andovy beranjak dari duduknya secepat kilat, bersimpuh di dadapan Jericho, menggenggam tangannya erat sambil menangis di sana. Sungguh ia tak ingin kehilangan kecintaannya.

“Apa yang bisa dia kasih tapi aku enggak, Vy?”

Tak ada jawaban, hanya isakan Andovy serta gelengan ribut yang ia dapatkan sementara tangannya semankin erat digenggam.

“Anak?”

“No! I don't give a shit about that, I love you, dan itu cukup buat aku!” Andovy semakin frustasi.

“Tapi kenyataannya aku masih belum cukup untuk kamu.”

Kenyataan Andovy selingkuh dibelakangnya membuat dirinya begitu hancur hingga berkeping-keping,m.

“You know I love you, Vy-”

“Ya I knew it, so please just stay, I beg you, Iko. I can't love anyone else but you, please..” Isakan tangis keduanya bersahutan memenuhi ruangan ini.

Keduanya masih larut dalam takut selama beberapa menit hingga akhirnya satu tangan Jericho terangkat dan mendarat di atas kepala Andovy, seketika Andovy-pun menatapnya.

“I love you, but I'm letting go-”

“No.. Please..” Andovy semakin gelisah di bawah sana.

“Aku sayang sama kamu, tapi aku gak bisa lagi. Setiap lihat kamu aku sakit, setiap lihat kamu aku gak bisa kendaliin pikiran aku dari hal-hal buruk. Aku gak bisa kendaliin bagaimana otakku membuat skenario ketika kamu bersama perempuan itu, ketika kamu mengkhianati aku, semuanya ada di otak aku, bayangan bagaimana kamu sama perempuan itu... Aku sakit, Vy, dan aku gak bisa.” Jericho menggelengkan kepalanya seola bayangan di pikirannya bisa hilang dengan itu.

“Aku gak akan bisa bersikap seperti gak terjadi apapun kedepannya kalau kita terus sama-sama dan kamu pasti akan tersiksa dengan rasa bersalah kamu. Pada akhirnya kita berdua akan terluka terus.”

“Gak, gak, Iko. Aku yakin itu gak akan terjadi. Aku gak akan bisa tanpa kamu, aku gak tau apa jadinya aku kalau kamu pergi dari hidup aku. Aku mohon jangan tinggalin aku. Apapun akan aku lakuin, asal kamu gak tinggalin aku.”

“Hidup kamu akan terus berjalan, dengan atau tanpa aku.”

Jericho menarik tangannya dari genggaman Andovy lalu menyeka air mata yang membanjiri wajah lelaki tersebut. Menatap Andovy dengan penuh cinta sekaligus rasa sakit yang tak terbendung.

“I love you, Ovy, I really do. Kamu harus tetep hidup untuk dirimu sendiri, ya? Setelah ini jangan pernah cari aku, kamu harus hidup dengan baik. Jangan lupa baikan juga sama Diora, hehe. Dia temen yang baik, jangan sampai kamu kehilangan dia seperti kamu kehilangan aku.” Jericho berusaha berbicara sehalus mungkin untuk menenangkan Andovy yang semakin kalut.

Andovy benar-benar tak sanggup berbicara sepatah katapun, ia terisak semakin hebat di hadapan Jericho. Dan setelah itu Jericho bangkit dari duduknya.

“Aku pergi ya.” Jericho melangkahkan kakinya menjauh dari cintanya, menjauh dari alasannya hidup dengan langkah gontai yang sebetulnya berat.

Keinginan untuk berbalik dan berlari ke pelukan lelaki itu sangat besar, keinginan untuk mengucapkan kata 'Aku gak apa-apa' dan 'Kita mulai dari awal lagi, ya?' Ingin sekali ia utarakan. Namun ia tahu, hati yang sakit jika dipaksakan untuk terus memeluk tidak akan indah akhirnya. Jadi ia memutuskan untuk melepas pelukan itu dan menyembuhkan hatinya sendirian.

Jericho keluar dari ruang itu dan menutup pintu tersebut, baru beberapa langkah ia menjauh, sebuah suara memanggilnya.

“Iko?”

“Van...” Tangisnya kembali pecah di lorong cafe ketika melihat Revan di depannya.

“Hey, I'm here.” Tanpa pikir panjang Revan langsung memeluk Jericho dengan erat. Diusapnya punggung bergetar itu untuk menenangkan temannya.

“Gue anter pulang ya?”

Jericho hanya mengangguk, karena tenaganya sudah habis. Ia juga tidak bisa pulang bersama Andovy kan?

Seseorang yang kini menjadi mantan kekasihnya.