Sedikit Kebelakang
Nathan menerima kecupan dari Oliver kala kekasihnya berpamitan pulang. Setelah bibir, kini kening Nathan menjadi sasarannya, rambutnya diusak perlahan.
“Kamu yakin gak apa-apa kalo aku pulang?” Oliver bertanya seraya menatap dalam mata kekasih yang sangat dicintainya itu.
“Gak apa-apa sayang. Lagian kan aku udah mendingan, ada ayah sama mama juga kan yang temenin aku.” Nathan mengusap kedua pipi Oliver untuk mengusir rasa khawatir kekasihnya.
“Yaudah, aku pulang dulu ya. Nanti aku kesini lagi.”
“Ok sayangku.”
Sepeninggalan Oliver, kamar rawat Nathan menjadi sepi. Ya, itu karena kedua orangtuanya sedang berada di luar untuk sarapan bersama.
Sejak dirinya bebas dari Bintara, Nathan langsung dibawa ke rumah sakit karena ada indikasih trauma ringan pada Nathan. Belum lagi Nathan juga terluka dan Tama tidak akan membiarkan anak kesayangannya begitu saja.
Tak berapa lama pintu kamarnya pun terbuka, senyum Nathan yang tadinya merekah karena ia kira yang masuk adalah orangtuanya memudar ketika ia tahu siapa yang sebenarnya masuk.
Orang itu datang menghampiri Nathan, menatap Nathan dengan tidak berekspresi.
“Om...” Suara Nathan memecah keheningan mereka.
“Ini pertemuan pertama kita, bukan? Tapi saya yakin kamu tahu betul siapa saya.”
Suara yang sangat mengintimidasi Nathan.
“Saya tidak akan lama, saya hanya ingin mengatakan bahwa hubungan kalian tidak akan berjalan seperti semestinya. Oliver yang saat ini bukan Oliver yang sesungguhnya. Dia penuh luka dan mentalnya tidak stabil.”
“Saya tau itu, om. Tapi sungguh, Oliver sudah jauh lebih baik-”
Kalimat Nathan tak sampai selesai karena pintu kamarnya kembali terbuka. Dan kali ini adalah ayahnya.
“Saya rasa tidak sopan kita sebagai orangtua mencampuri urusan anak-anak kita.”
Suara Tama tegas karena juga ingin melindungi anaknya. Kedua orangtua itu bertatapan dan Tama kembali melanjutkan kata-katanya.
“Saya Tama, ayah dari orang yang sangat dicintai putra anda. Jika tidak keberatan boleh kita bicara? Itu terdengar akan jauh lebih adil.”
Ninda yang sedari tadi berdiri di pintu pun masuk menghampiri Nathan, membelai surai anaknya untuk menenangkan Nathan bahwa semua akan baik-baik saja.
***
Kini kedua lelaki dewasa itu sudah duduk di taman rumah sakit yang sunyi ditemani kicauan burung. Tak ada yang memulai pembicaraan. Kira-kira sudah lima menit.
“Kapan terakhir kali anda bertanya akan kabar anak anda sendiri?” Suara Tama menginisiasi pertanyaan menohok yang tidak bisa dijawab sama sekali.
Kapan? Tidak tahu. Mereka satu rumah namun tak saling sapa. Mereka satu meja makan namun makan dijam berbeda. Mereka saling melihat namun tak terlihat.
Hubungan anak dan orangtua macam apa itu?
“Anda pernah bertanya bagaimana Oliver melewati harinya? Bertanya bagaimana dia bisa bertahan sejauh ini sementara tak mendapatkan apa yang menjadi haknya sebagai seorang anak.”
Keangkuhan di wajahnya memudar, namun egonya masih tinggi.
“Oliver anak saya. Saya tahu apa yang saya lakukan padanya.”
“Sejak berpacaran dengan Nathan, Oliver juga sudah menjadi anak saya. Saya merasa kasihan dengannya karena tak mendapatkan kasih sayang dari orang yang seharusnya selalu memberikan dia rasa aman. Dan saat dia sudah mendapatkan itu semua di tempat lain, anda ingin menghancurkannya?”
Mata Tama memandang lurus pada lelaki yang ternyata lebih tua darinya ini, sedikit api tersulut karena ekspresi orang disebelahnya hanya datar.
“Belum cukup anda menyiksa mentalnya? Membuatnya merasa tidak diinginkan dan dibenci selama hidupnya? Saya tidak ingin mencampuri kehidupan pribadi anda, namun anda sudah berani menghampiri anak-anak saya seperti itu, jadi saya harus bertindak.”
“Tiap melihat wajanya, saya selalu teringat jalang yang mencampakkan keluarganya sendiri.”
“Dan anda menjadi bajingan yang mencampakkan anak sendiri. Jika ingin membenci, bencilah orang itu. Jangan anakmu! Oliver bahkan tidak meminta untuk dilahirkan. Dia hanya ingin kasih sayang dari ayahnya walaupun ia tahu itu sangat mustahil.”
Tama berdiri dari duduknya, menepuk bahu ayah Oliver seraya berkata, “Jika tidak bisa memberikannya kebahagiaan, jangan pernah menghalanginya mencari kebahagiaannya sendiri.”
Tama meninggalkannya sendirian, termenung menatap langit lalu mengambil sesuatu dari saku jasnya.
“Begitu keraskah aku terhadapmu sampai kau harus meminum obat-obatan ini?”
Matanya nanar menatap butir-butir obat atas nama Oliver ditangannya. Entah darimana ia dapat namun sekarang ia mengetahui sebesar apa luka yang ia berikan pada tunggalnya.
“Maaf... Saya bahkan tidak pantas dipanggil ayah.”