Can We Make It?

Wayan's house.

Mobil yang dikendarai Jericho berhenti tepat di halaman rumah Wayan, dan saat ia turun, si kecil Kala menyambutnya.

“Om Ikoo.” Seru Kala sambil berlari memeluk Jericho.

“Halo Kala, apa kabar?”

“Baikk, om Iko kesini mau ketemu sama om Ovy yaa?”

“Kala, om Iko nya suruh masuk dulu. Masa ngobrol di luar.” Naura yang berdiri di depan pintu pun bersuara.

“Hehehee, iya maah. Ayo om kita masuk!”

Jericho hanya mengangguk dan tersenyum lalu mengikuti langkah Kala yang sudah lebih dulu memasuki rumahnya.

“Mba kira kamu udah gak mau kesini lagi.” Ucap Naura setelah keduanya duduk di ruang tengah.

“Maaf mba. Sebenernya hubungan aku sama Ovy sempet gak baik. Pas aku mau ke sini juga masih banyak wartawan, jadi aku nunggu biar agak sepi dulu.”

Sebetulnya Jericho juga merasa bersalah karena tak datang lebih cepat. Namun keadaan juga memaksanya untuk diam ditempat.

“Enggak apa-apa, yang penting kamu ada di sini sekarang.”

“Gimana keadaan Ovy, mba? Dia baik-baik aja kan?”

Naura mengalihkan pandangannya, menatap pintu kamar Andovy lalu kembali pada Jericho.

“Dia masih gak mau keluar selain buat makan, Ko. Itupun kalau mba gak panggil buat makan, dia gak akan makan.”

Jericho ikut memandang sedih daun pintu berwarna hitam itu.

“Aku boleh masuk mba?” Tanya Jericho.

“Boleh. Mba harap juga kedatangan kamu bisa bangkitin semangat dia lagi.”

“Iya, aku bakal berusah, mba.”

Jericho mulai beranjak dari duduknya, kakinya melangkah maju hingga dirinya sampai di depan kamar lelaki yang menguasai hatinya itu.

knock, knock

Ketukan pintu menyadarkan Andovy dari lamunannya. Ponsel yang digenggamnya menampilkan room chat whatsapp milik perempuan bernama Nay. Mantan kekasihnya. Entah kenapa saat ini hanya ada perempuan itu dipikirannya. Entah kenapa juga Andovy ingin sekali melempar dirinya, melempar hargadirinya pada wanita itu. Kiranya hanya Nayla lah satu-satunya orang yang akan mengerti dia.

knock, knock

Suara ketukan pintu kembali terdengar untuk yang kesekian kalinya karena tak kunjung dibukakan oleh sang empunya kamar. “Ovy, ini aku..”

Seketika tubuh Andovy menegak, kepalanya menoleh dengan cepat menatap pintu setelah mendengar suara yang lama tak menyapa telinganya.

“Iko?” Lirihnya

“Ovy, aku boleh masuk?” Suara Jericho kembali terdegar.

Andovy langsung beranjak dari duduknya dan cepat-cepat membukakan pintu untuk Jericho.

Benar saja, ketika pintu itu terbuka, sosok Jericho telah berdiri di hadapannya. Sosok yang sempat terlupakan olehnya itu ternyata masih perduli padanya.

Setelah pintu kembali tertutup, tanpa bicara, Andovy menarik Jericho masuk ke dalam pelukannya. Jericho-pun masih diam, membiarkan Andovy memeluknya dengan begitu erat, kepala itu bersembunyi di pertemuan leher dan bahu Jericho.

Tanpa ditanya pun Jericho tahu pelukan ini berbeda. Bukan pelukan nyaman yang biasa Jericho dapatkan. Namun pelukan gelisah seolah mencari tempat aman untuk bersembunyi.

“Apa yang aku takutin kejadian, Ko. Semuanya hancur sekarang.”

Jericho mengeratkan pelukannya, mengusap punggung lebar itu terus menerus. Suara lirih Andovy sangat menyayat hati Jericho.

“Ayo kita duduk dulu.”

Jericho melepas pelukannya dan membawa Andovy untuk duduk di atas kasurnya sendiri.

Jericho mengambil segelas air yang berada di nakas lelaki ini, lalu menuntun Andovy untuk meminumnya dan kembali menaruhnya di sana.

Matanya tak putus memandang wajah lelaki yang ia cinta itu. Wajah yang biasanya tegas itu kini layu seperti tak punya semangat hidup.

Jericho menangkup kedua pipi Andovy, mengusapnya dengan ibu jarinya. Memandang sendu kedua bola mata legam milik kecintaannya.

“Kamu kurus banget, Vy. Makan ya? aku temenin.” Tawar Jericho, dan disambut anggukan oleh Andovy. Hal itu membuat senyum senang milik Jericho mengembang.

Ketika senyum itu melebar, Andovy meraihnya. Mengelus lesung pipi manis Jericho.

“Maafin aku..” Lirih Andovy lagi.

“Gak apa-apa. Kamu gak perlu minta maaf, aku tau kamu ketakutan. Tapi sekarang ada aku, aku di sini, Vy. Sama kamu terus, jangan pernah merasa sendiri. Jangan pernah bilang kayak gitu lagi, karena aku gak akan sekalipun ninggalin kamu.”

Setetes air mata mengaliri pipi Andovy. Untuk apa mengharapkan yang sudah pergi untuk kembali jika ia punya sosok Jericho di sampingnya. Untuk sesaat Andovy merasa bersalah karena malah memikirkan wanita lain saat Jericho jauh. Terlebih wanita itu sudah tega mengkhianatinya.

“Nangis aja sepuas kamu, tapi habis ini bangkit ya? Kita bangkit sama-sama.”

Anggukan menjadi jawaban atas ajakan Jericho. Andovy kembali berhambur ke dalam pelukan Jericho, aman yang selama ini ia cari telah ia temukan. Tempat terbaik untuk bersembunyi.

“Gak apa-apa, nangis aja.” Tangannya terus mengusap kepala Andovy sedang tangan yang lain memupuk bahunya.

Jericho bisa merasakan bahunya basah akan air mata Andovy. Ia kecup pipi itu dengan lembut tanpa melepas pelukannya, berharap bisa sedikit menenangkan Andovy.

“Makasih kamu masih mau dateng ke sini.”

“Iya, Vy. Aku minta maaf juga karena lama datengnya. Habis asal kamu tau, wartawan tuh ada di depan rumah kamu seminggu penuh. Gila apa ya.” Gerutu Jericho.

Andovy melepas pelukan erat itu dan menghapus air matanya.

Jericho menggenggam tangan Andovy dengan erat, meyakinkan Andovy kalau ia tidak sendiri.

“Ya no wonder sihh kenapa mereka sampe segitunya sama kamu, artis nomor satu di Indonesia lagi kesandung nih bos. Sipaling dicari-cari.” Canda Jericho.

“Emang boleh sepaling dicariin ini?”

Tawa renyah kini terdengar atas candaan masing-masing. Jericho bersyukur Andovy kembali bisa tertawa.

“Kita berjuang ya? aku yakin ini ada jalan keluarnya. Kamu gak boleh nyerah gitu aja.”

Mereka saling pandang selama beberapa detik tanpa bicara. Jericho menatap mata penuh takut itu dengan lembut, sedangkan Andovy menatap mata yang memancarkan binar kehangatan. Tempat paling aman untuknya.

Hingga aggukan Andovy membuat senyum Jericho makin melebar.

“Habis ini kita pikirin jalan keluar terbaik, kita susun rencana untuk ngelurusin masalah ini.”

Mereka kembali diam.

“Kalau ternyata anak itu adalah benar anak aku, apa kamu bakal ninggalin aku?”

“Aku gak akan tega ngeliat anak dan ayahnya berpisah, kalau bener anak itu adalah anak kamu, aku akan mundur jika untuk kebaikan kita semua. Tapi kamu juga harus lanjutin hidup. Jangan kayak gini lagi. Ada anak kamu yang butuh kasih sayang kamu.”

Meski penuh sesak, namun Jericho menahannya.

“Hmm, lagian itukan baru kemungkinan. Masih banyak kemungkinan lain didepan sana yang gak kita tahu, Ovy.” Jericho merapihkan rambut Andovy yang sedikit berantakan itu, lalu kembali mengelus pipinya.

“Makasih ya. Makasih karena kamu gak milih pergi dan ninggalin aku.”

“Aku kan udah bilang kalau sekarang kamu punya aku yang bakal selalu temenin kamu ngelaluin apapun.” Ucap Jericho.

Tangan kekar itu terangkat mengusap wajah Jericho, membawa wajah mereka untuk mendekat hingga kedua mata mereka menutup untuk menyambut sebuah kecupan ringan nan manis di bibir masing-masing.

Sebuah kecupan singkat cukup untuk menghantarkan perasaan cinta mereka saat ini. Setelah Andovy melepas ciumannya, Jericho-pun berkata;

“Sekarang kita makan yuk? Aku bawain masakan mamah, kamu pasti suka.” Ucap Jericho sambil berdiri menggenggam tangan Andovy.

Andovy tersenyum lalu mengangguk, ikut beranjak dari duduknya lalu keluar kamar bersama Jericho dan menuju meja makan untuk makan bersama.

-