FLASHBACK

Nathan berlari setelah mengingat lampu di kamarnya adalah pemberian Bintara, mengangkat lampu itu lalu memeriksanya, sekilas memang tidak terlihat mencurigakan, namun ketika Nathan membukanya ternyata di dalam lampu tersebut terdapat sebuah kamera yang masih menyala. Menandakan benda itu aktif dan selalu merekam aktifitasnya selama ini.

Bohong jika Nathan tidak takut, tangannya sedikit gemetar memegang kamera berukuran kecil itu.

“Jadi ini alasannya kenapa dia selalu tau gue lagi apa? You are fucking psycho, Bintara!”

Setelah mengabari Dafa dan lainnya, Nathan bersiap-siap untuk keluar dan tinggal sementara di rumah orang tua ya. Dirinya tidak aman untuk saat ini jika tinggal sendiri.

Secepat kilat ia berlari keluar menuju mobilnya. Ia hanya ingin cepat keluar dari rumah dan merasa aman.

“Kenapa buru-buru, hm? Mau aku anterin?”

Sial! Orang itu mengetahui semuanya.

Kakinya lemas melihat lelaki yang memakai hoodie hitam itu berdiri di samping mobilnya. Nathan tak bisa kemana-mana lagi.

“Gak usah buru-buru, sayang. Gak akan ada yang ganggu kita.”

Nathan tahu ia tidak bisa melawan. Keadaan sudah malam, sepi dan gelap. Tubuhnya pun jauh lebih kecil dibanding lelaki dihadapannya ini.

Sekarang ia menyesali keputusannya untuk tidak mengabari Oliver.

Bintara berjalan mendekati Nathan, menyentuhnya di pipi lalu turun menjalari lengan hingga pergelangannya.

“Aku gak bisa jamin keselamatan kamu kalo kamu teriak.” Ucap Bintara bersamaan dengan lengannya yang sudah melingkar sempurna di pinggul Nathan.

“Disini dingin, gimana kalau kita masuk? Kayaknya dipeluk kamu bakal terasa nyaman.”

Nathan hanya bisa menurut saat Bintara menariknya masuk, mengunci pintu dan membawanya ke dalam kamar.

“Jadi disini ya tempat cowok bajingan itu menyentuh punyaku?”

Nathan menatap ngeri kepada Bintara yang berjalan mengelilingi kasurnya.

Malu. Nathan sangat malu mendengar kenyataan bahwa kegiatannya panasnya bersama Oliver kala itu menjadi tontonan lelaki psikopat di hadapannya.

“Kenapa harus kebongkar, Nath? Kamu sebenarnya gak perlu tahu ini semua. Sedikit lagi aku bisa rebut kamu dari cowok itu, tapi sekarang semuanya kacau.”

“Why are you so obsessed with me?”

Bintara berhenti lalu memandangi Nathan dari ujung kepala hingga kaki.

“Because you are mine.”

“I'm not yours! And never be yours! You have to face it, mas!”

“NO!” Nathan terkejut mendengar suara Bintara meninggi dan melangkah mundur saat Bintara mendatanginya penuh emosi, membuatnya terkurung di antara tembok dan tubuh besar itu. Mencengkram kedua pipinya lalu berkata,

“You are forever mine. Gak ada yang bisa misahin kita sayang.”

“Oliver bakal dateng kalo dia tau semuanya.”

“Oh, kamu tenang aja. Kalau dia tahu, dia gak akan bisa kesini. Karena sebelum dia bisa kesini, bisa aku pastiin dia udah kehilangan nyawanya.”

“No, please no. Oliver gak salah apa-apa. Please leave him alone!”

Cengkraman di pipinya mengendur digantikan dengan usapan yang sarat akan dominasi. Nathan menggigil ketakutan hingga tak terasa air mata nya menetes. Dan sialnya hal itu membuat Bintara senang.

“Then, stay with me. And be a god boy. I'll give you everything you want, yang gak bisa bangsat itu kasih.”

Apapun asal Oliver tetap aman, akan Nathan lakukan.

***

Sudah berhari-hari Nathan dan Bintara tinggal bersama. Terjebak bersama seseorang yang memiliki obsesi terhadap dirinya. Tak sedetikpun Bintara meninggalkan Nathan sendiri, ini menyulitkan Nathan untuk memberi tahu Oliver dan para sahabatnya. Apapun yang Nathan lakukan selalu diketahui Bintara.

Namun Nathan tak menyerah, Nathan selalu memberikan Oliver signal dengan melarang Oliver menemuinya. Karena setahu Oliver, dirinya sudah berada di rumah orang tuanya.

Nathan berharap Oliver bisa mengerti dan menaruh curiga. Walaupun lama, Nathan akan sabar menunggu.

Disamping itu, Bintara memang memperlakukannya dengan baik. Selama tidak membantahnya.

Jika Nathan menolak apa yang Bintara minta, Bintara akan marah, berteriak di wajah Nathan lalu tak lama tersadar dan memeluk Nathan sambil meminta maaf.

Tak ada cara lain selain menurut. Nathan juga tidak ingin tinggal nama nantinya.

Dan akhirnya harapan dan titik terang muncul ketika Oliver mengirimnya pesan jika Ninda mencarinya dan memberi kabar jika ia sama sekali tidak pulang ke rumah.

Melihat Bintara di dapur dan tidak memperhatikannya, Nathan buru-buru mengetik balasan agar Oliver menghubungi Evlyn karena ia tidak akan sempat jika harus menceritakan semuanya.

Dan benar saja, sesaat setelah ia menekan opsi 'send', ponselnya telah di rebut Bintara.

“Fuck! Why Nath?! You hurting me!”

“No, fuck you-”

“Oh, yes. I'll fuck you!”

Bintara menatap layar ponsel Nathan dengan emosi, dan tapa berpikir panjang ia mengetik balasan untuk Oliver dan mengirim pesan suara.

“You should stay away from Nathan. Karena Nathan udah sama gue, dia milik gue disini. Dan gak usah coba-coba buat ngelakuin hal bodoh atau gak ada diantara kita yang dapetin dia.”

Tatapan mata Bintara berubah menjadi lebih menakutkan dari biasanya, dengan marah Bintara menarik lengan Nathan dan menyeretnya untuk masuk ke dalam kamar.

“Aku bilang, jangan pernah berhubungan lagi sama dia, Nathan! I've told you a thousand times! YOU ARE MINE!”

“And I've told you fucking many times, I'll NEVER be yours, you fucking psychopath!”

-BUGH!-

Nathan terkapar tak sadarkan diri setelah Bintara menamparnya.

“Nath... Nathan, Nathan! Aarghh!”

Ditengah kepanikan, Bintara membawa Nathan berbaring di kasurnya. Bintara kehilangan kontrol diri melihat darah keluar dari sudut bibir Nathan, namun yang ia lakukan selanjutnya malah mengikat kedua tangan Nathan.

Tak tahu sejauh apa yang akan ia lakukan. Yang Bintara mau hanya Nathan menjadi miliknya, ia juga tidak menyangka akan bertindak sejauh ini.

“We have to go, Baby. Kita pergi ya? Pergi yang jauh sampe gak ada satupun orang yang bisa temuin kita.