Martabak Cokelat Keju.

07.00 PM

“Martabak dataangg”

Suara Oliver memenuhi ruangan bersamaan dengan langkah kaki telanjangnya yang besar dan penuh semangat, menjinjing plastik bening berisikan martabak pesanan kekasih tercinta.

“Sini, biar mama yang siapin. Nathan nya masih mandi kayaknya.”

Ninda menghampiri Oliver, mengambil alih plastik itu seraya tersenyum dan merapihkan helai rambut pemuda yang sudah ia anggap sebagai anaknya ini.

“Halo adik bayii. Abang udah bawain martabak pesenan adik bayi.” Kekehan Ninda tak bisa disembunyikan ketika Oliver mengelus perut buncitnya.

Usia kandungannya sekarang sudah menginjak enam bulan, perutnya makin membesar dan syukurnya anak di dalam kandungannya baik-baik saja. Tumbuh dengan sehat didampingi para lelaki yang sangat menyayanginya.

“Ini pasti Nathan yang kasih tahu.”

“Hahaha iya mah.”

“Payah tuh ayah kalian, masa beliin martabak aja lupa terus.” Gerutu candaan terdengar dari Ninda.

“Terimakasih ya, abang kecil.”

“Ohh Oliver aja yang dapet terimakasih?” Tiba-tiba sebuah suara terdengar dengan nada merajuk.

Nathan datang dengan bibir yang mengerucut.

“Abang besar juga, terimakasih yaa.” Ninda tersenyum sambil mengelus pipi Nathan yang membuat bibir mengerucut itu berubah menjadi senyum lebar nan indah.

“Oh iya, Ver. Papa mau ngomong tuh katanya.”

“Aduh deg degan.”

“Lebayyy. Udah sanaa.”

Setelah tau dirinya ditunggu oleh ayah dari kekasihnya, Oliver pun berjalan menjauhi Nathan dan Ninda. Berjalan menuju taman belakang tempat Tama duduk menunggu Oliver.

“Pah. Katanya ada yang mau di omongin?” Ucap Oliver ketika dirinya sudah duduk berdampingan dengan Tama.

Tama menatap Oliver sepersekian detik dan mengacak rambut Oliver seperti anak kecil.

“Kalo nanti di rumah kesepian, bisa nginep di sini.”

Ucapan Tama membuat Oliver mengernyitkan dahinya.

“Saya tau, papah kamu akan pindah ke Singapura.”

“Tau dari mana pah?? Ini dia ada apa-apa ya sama Nathan?? Papah juga kenal sama dia? Pah Oliver minta maaf kalau diaㅡ”

“Kami bertemu beberapa kali. Papahmu juga menitipkan kamu ke saya. Sekarang kamu adalah tanggung jawab saya. Jangan khawatir, papahmu orang baik. Dia juga banyak bercerita, dan dia bilang dia sangat sayang sama kamu.”

Oliver masih mencerna perkataan Tama. Papahnya menemui Tama? Bercerita dan menitipkannya pada keluarga ini?

Sudah sejauh ini kah yang ia tidak tahu?

“Gak usah khawatir mulai sekarang. Jangan raguin lagi kasih sayang papahmu.”

Tama menepuk bahu Oliver.

“Antar dia, dan kunjungin jika kamu nanti kangen. Jangan sia-siakan kesempatan selagi ia masih ada.”

Tama tersenyum ketika melihat setetes air mata mengaliri pipi Oliver namun dengan cepat ia menghapusnya.

“Terimakasih pah.” Tama memberikan pelukan hangat seakan tanda bahwa Oliver resmi menjadi bagian dari keluarga kecil mereka.

“Martabaknya udah disiapin nih. Ayo makan, nanti keburu dingin. Gak enak dehh.”

Ninda yang datang dari arah belakangpun mengusap kepala hingga bahu Oliver, memberikan Oliver tambahan rasa kasih sayang sebelum mereka beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam rumah.

Namun kaki Oliver tidak melangkah. Ia menatap punggung dua sosok orang tua barunya. Orang tua yang yang mengenalkannya pada rasa kasih sayang.

Lalu matanya bergulir melihat Nathan yang berdiri di depan pintu, menunggu Oliver untuk masuk dengan senyum hangatnya. Tangan Nathan terakngat terulur perlahan dan saat itu juga Oliver berlari menuju pelukan Nathan.

“Welcome home, Oliver.”

Pelukan erat dan usapan-usapan lembut yang membuat Oliver terhanyut dalam hangat kenyamanannya. Tak akan Oliver mau menjauh atau barang sedetik saja melepaskannya.

Sekarang dia benar-benar punya rumah untuk pulang.