achaistyping

A writer of Ohm Nanon Alternative Universe. @achaistyping on twitter.

I Can't Live Without You

Jakarta, 22:00

Yang diinginkan Nathan sebenarnya hanya rasa tenang setelah pulang dari hari yang melelahkan, namun nyatanya sekarang ia malah semakin panik karena mendengan kabar bahwa Oliver mengalami panic attack karena dirinya. Ditambah ia melihat mobil Oliver terparkir di halaman rumahnya.

Oliver pasti kesini. Begitulah pikirannya.

Setelah mendapat alamat rumah Julian, Nathan diantar Caka, Dafa, Evlyn, dan Cilla langsung menuju rumah Julian.

“Tenang, Nat. Gue yakin Oliver gak apa-apa.” Evlyn berusahan menenangkan Nathan yang sedari tadi berusaha menelfon Oliver namun tak ada jawaban.

“Semoga, karena kalo dia sampe kenapa-napa gara-gara gue, gue bakal ngerasa bersalah seumur hidup gue.”

Nathan tahu langkahnya salah, tidak seharusnya ia meninggalkan Oliver tanpa kabar. Faktanya Nathan lupa bahwa ia adalah dunianya Oliver. Nathan lupa bahwa menghadapi kupu-kupunya yang mati saja Oliver bisa separah itu. Bagaimana dengan ini?

Nathan kecewa, kecewa dengan dirinya sendiri.

Walaupun di dalam hatinya masih menyimpan pertanyaan akan foto-foto yang sebenarnya jelas adalah Oliver.

Persetan dengan foto itu. Olive lebih berharga. Dan jika benar pun Nathan rela mundur demi kebaikan Oliver. Mungkin saja ayahnya Oliver akan berhenti menekan Oliver jika pasangannya adalah perempuan.

. .

Tak berapa lama akhirnya Nathan sampai di depan sebuah rumah sederhana di kawasan selatan kota Jakarta.

“Thanks ya udah mau anter gue.”

“Anytime, Nath. Gue berdoa yang terbaik buat lo. Dan semoga Oliver gak kenapa-napa.” Ucap Dafa.

Dengan langkah terburu, Nathan membuka gerbang yang tidak dikunci itu, berlari menuju pintu utama di dalamnya.

“Jul! Oliver?” Ucap Nathan ketika sang pemilik rumah telah membukakan pintunya.

“Di dalem. Baru bisa tidur abis dikasih obat penenang sama Nanda. Lo gak tau kan Oliver belom tidur sehari semalem?” Tatapan kecewa Julian tercetak jelas.

“Please maafin gue, gue tahu ini salah tapi gue juga punya alesan. Pertama gue sama sekali gak liat hp dan gak tau kalo Oliver nelfonin gue.”

“So, lo gak pegang hp dari semalem juga?”

“Gak gitu, gue gak bisa jelasin ke lo soal ini, sekarang please kasih tau gue Oliver dimana?”

Nathan sudah tidak sabar ingin melihat Olivernya, begitu Julian menunjukkan kamar mana yang di tempati Oliver, Nathan langsung berlari.

Ketika Nathan membuka pintu dengan perlahan, ia melihat Oliver tidur lelap dengan beberapa obat -yang Nathan tidak tahu apa- diatas nakas. Rasa bersalah kembali menguasai Nathan karena menghilang tanpa kabar dan membuat Oliver sekacau ini.

Wajahnya terlihat sangat kelelahan, ditambah Julian bilang Oliver tidak tidur sehari semalam. Itu artinya sejak Nathan memblock Oliver hingga saat ini, Oliver tidak beristirahat untuk memastikan Nathan baik-baik saja.

“Sayang, maafin aku.. Maaf...”

Nathan mengusap pipi Oliver yang menirus itu lalu menggenggam tangannya. “Aku tungguin kamu bangun disini ya. Semoga nanti kamu gak marah sama aku.”

Nathan beranjak dari duduknya, menaiki kasur dan berbaring di samping Oliver. Membawa tubuhnya lebih dekat dan memeluk Oliver erat-erat, merebahkan kepalanya di atas dada Oliver.

***

Kini hari sudah pagi dan ketika bangun, yang Nathan rasakan adalah usapan lembut di punggungnya serta deru napas hangat di atas kepalanya. Nathan mendongak dan matanya bertemu dengan mata bulat Oliver serta senyum menenangkannya.

Nathan kira ia akan sendirian ketika bangun lagi, Nathan kira Oliver tidak akan mau melihat wajahnya karena marah. Ternyata semuanya salah. Oliver gak pernah meninggalkannya. Ia lah yang meninggalkan Oliver.

“Ver, are you ok? Kenapa gak bangunin aku? Kamu butuh sesuatu gak? Biar aku ambilin. Mau sarapan apa? Biar aku masakin.”

Ketika nathan ingin bangun, pelukan Oliver malah mengerat. Memberi tanda pada lawannya jika ia tak ingin dipisah.

“Gimana mau bangunin? Kamu tidur nya nyenyak banget. Lagian aku suka ngeliatin wajah kamu, kayak bayi, hehe.”

Kekehan Oliver tak membuat Nathan tersenyum karena rasa bersalah yang mulai muncul lagi.

“Aku juga gak nyangka bakal bangun liat kamu di samping aku. Aku takut kalau aku bangunin kamu, kamu bakalan pergi lagi.” Lanjut Oliver.

“Gak. Aku gak akan pernah pergi lagi. Maafin aku, Ver.. Maaf.”

“Gak apa-apa, aku bersyukur masih bisa liat wajah kamu sekarang. Jangan pergi lagi ya, aku gak tau harus apa kalo gak ada kamu, kamu dunia nya aku, nafas aku ada di kamu. Gak ada kamu, aku gak bisa ngapa-ngapain. Tujuan aku cuma kamu, hidup aku gak ada artinya kalo kamu gak ada.”

Air mata Nathan sukses mengalir tepat setelah Oliver menyelesaikan kata-katanya dan dengan cepat isakan pun terdengar.

“Sayang? Kenapa?? Aku salah ngomong ya? Atau aku nyakitin hati kamu??” Tentu saja Oliver panik melihat Nathan menangis hingga sesugukan seperti ini. Usapannya di punggung Nathan pun dipercepat untuk menenangkan kekasih hatinya.

Nathan menggeleng. “Aku yang harusnya minta maaf karena gak percaya sama kamu. Seharusnya aku gak bodoh dengan diemin kamu dan gak percaya sama kamu. Hiks.. Harusnya aku tanya langsung semuanya ke kamu dan gak overthinking mikirin hal yang engga-engga tentang kamu.”

Pelukan Nathan mengerat begitu juga tangisnya yang menderas.

Sedang Oliver mengernyitkan dahi mendengar Nathan. Firasatnya benar ternyata, pasti ada yang tidak beres.

“Tanya apa? Apa yang mau kamu tanyain, sayang?”

Nathan menghapus air mata dan mengambil handphonenya, menunjukkan beberapa foto yang ia dapatkan sebelumnya.

Oliver terkejut dengan apa yang ia lihat. Dia dan Tiara, berciuman.

“Aku dapet foto ini dua hari lalu, aku kaget, pikiran aku langsung kacau banget, aku gak tau harus apa, aku kecewa ngeliatnya... Yang bisa aku lakuin cuma nangis semaleman mikirin kamu selingkuh sama cewek ini. Terus paginya temen-temenku dateng ngehibur aku dan ajak aku keluar. Tapi habis itu aku sadar seharusnya aku gak begini ke kamu. Harusnya aku langsung tanya ini dan gak percaya selain sama kamu...” Ada jeda disana.

“Kamu.. Gak beneran selingkuh dari aku kan.. Oliver?” Nathan menatap Oliver takut. Takut akan jawaban yang ia terima.

“Kalo aku jawab, kamu akan percaya?”

Nathan mengangguk. “Aku percaya semua yang keluar dari mulut kamu.” Walaupun itu bohong, Nathan tetap akan percaya. Nathan tidak ingin kehilangan Oliver.

Oliver mengelus pipi Nathan, menghapus sisa-sisa air mata disana, tersenyum kecil menatap bola mata terindah seseorang di dekapannya.

“Iya bener, itu aku sama Tiara” Oliver menjeda kalimatnya.

“Tapi itu dulu, jauh sebelum aku ketemu kamu. Sewaktu dia masih nyewa aku. Aku tau ini akan susah kamu percaya, tapi kamu inget kan kalo aku mempersilahkan partnerku untuk minta apa aja yang mereka mau selama nge-rent aku? Termasuk kissing, hugging or one night stand. I did it only because we're partner. Jadi disitu Tiara lagi minta aku buat kasih afeksi ke dia. Aku gak tau gimana bisa ada fotonya? Aku bahkan gak tau kalo aku di foto saat itu. Aku juga gak tau kenapa foto itu bisa ada di kamu.”

Oliver menatap Nathan masih dengan kelembutan yang sama.

“Masa lalu aku memang banyak buruknya karena aku boyfriend rent. Mungkin kedepannya kamu bakal tau hal-hal yang lebih buruk dari ini.. Maafin aku ya.”

Nathan percaya Oliver. Dan akan selalu seperti itu. Nathan gak akan meragukan Oliver nya lagi. Tidak akan penah.

“Aku percaya kamu, kamu gak perlu minta maaf untuk apapun. Aku gak perduli masa lalu kamu, aku gak perduli kamu pernah ngapain sama siapa aja. Yang aku tau, sekarang kamu punya aku, yang aku tau pacarku orang baik yang selalu ada buat aku, yang selalu mastiin kalo aku bahagia ada disapingnya, dan akupun begitu.”

Nathan kembali memeluk erat Olivernya. Sangat erat sarat akan takut kehilangan.

“I love you, Nathan. I always have and always will. You are the most beautiful thing in my life, how could I turn away if I don't get to look at you even for a day, it feels like I'll die.”

Oliver menangkup pipi Nathan dan mempersatukan kedua bibir mereka. Oliver rasa satu kecupan akan cukup untuk menenangkan mereka.

Namun ternyata tidak dengan Nathan. Nathan melampiaskan semuanya pada ciuman mereka. Lumatan-lumatan yang diberikan Nathan sarat akan rasa cinta yang sangat dalam. Nathan seperti berbicara cinta melalui ciuman ini.

Hingga tak sadar Nathan sudah berada di atas tubuh oliver dengan masih mencumbui bibir yang lebih tebal darinya itu serta tangan Oliver yang sudah merambat di punggung Nathan yang sangat halus.

“Nath-” Tak diijinkan bicara oleh Nathan.

“Ah, sayang..” Masih suara Oliver.

Oliver menjauhkan wajah Nathan, memutus tautan bibir mereka saat tangan Nathan mulai bergerilya diatas adik kecilnya.

“Kita lagi di rumah Julian, Nat. Gak mungkin kan kita ngelakuinnya disini.” Oliver berbicara sambil merapihkan rambut Nathan, menatap mata sayu pacarnya.

“Tapi aku kangen...” Kali ini Nathan merengek.

“Sabar ya sayangku, habis ini kita pulang yah.”

Nathan tersenyum mengangguk dan berajak dari tubuh oliver.

“Hm... Ver. Aku belum jawab pertanyaan kamu.”

Dahi Olive berkerut bingung, pertanyaan yang mana?

“Aku dapet foto-foto itu dari mas bintara.”

Trust

Nathan's House 09:00 AM

Dafa adalah orang pertama yang sampai di rumah Nathan. Setelah pemiliknya membukakan pintu, Dafa langsung masuk dan pandangannya pun tak luput dari wajah sahabatnya itu. Dafa bahkan lupa kapan terakhir kali Nathan sesedih ini karena seingatnya Nathan selalu bahagia setelah Oliver menjadi pacarnya.

“Lo gak apa-apa?”

“Menurut lo?”

“Mata lo bengkak banget, kompres dulu ya?” Tak perlu menunggu persetujuan dari lawannya, Dafa langsung mengambil sebaskom air dingin serta handuk untuk mengompres mata Nathan.

Sedang Nathan hanya bisa diam menuruti sahabatnya ini.

“Mau cerita?” Tanya Dafa yang dijawab anggukan kecil oleh Nathan.

“Gue baru aja dikasih liat foto-foto Oliver sama rekan kerjanya, mereka mesra banget, Daf. Gue pusing liatnya. Bahkan difoto itu mereka ciuman.” Air mata Nathan kembali mengalir.

“Gue boleh liat foto-fotonya?”

Seketika Nathan mengambil handphone nya dan menunjukkan semua foto yang ia dapat.

“Lo udah tanya langsung ke Oliver?” Nathan menggeleng.

“Lo tau cewek ini siapa?” Nathan mengangguk.

“Oliver pernah cerita kalo cewek itu namanya Tiara, mereka pernah jadi partner waktu Oliver masih jadi boyfriend rent, selama setahun. Oliver bilang mereka gak lebih dari pacar sewaan. Tapi ngeliat foto-foto itu gue jadi gak yakin kalo setahun itu gak terjadi apa-apa sama mereka. Pasti salah satu dari mereka ada yang suka. Gue takut Daf, gue takut banget Oliver beneran ngelakuin itu ke gue. Gue bahkan gak berani nanya karena takut apa yang ada di kepala gue itu kejadian, Oliver selingkuhin gue.”

Dafa hanya diam, ia tahu saat ini Nathan hanya butuh didengar. Sebenarnya lelaki jangkung itu ingin sekali memeluk lelaki di hadapannya ini, karena pada dasarnya perasaannya belum memudar. Perasaannya masih sama, ditempat yang tak akan pernah tejangkau dan tergantikan oleh siapapun kecuali Nathan.

“Menurut lo, Oliver beneran selingkuhin gue apa gak?” Nathan bertanya. Meski tak diucapkan, Dafa tahu jawaban yang diharapkan Nathan adalah 'tidak'.

“Sebelum ini, Oliver itu orang yang terbuka atau gak sama lo? Pernah gak sekali aja dia bohong?” Dafa balik bertanya.

Nathan menggeleng dengan pelan. “Dia orang baik Daf, dia bahkan nyeritain semua tentang dirinya. Dipertemuan pertama kita aja dia perhatian banget ke gue. Dia selalu naruh kebahagiaan gue diatas segalanya, dia selalu make sure gue happy di deket dia. He's so kind.”

Yang Dafa lihat hanya cinta yang sangat besar di mata Nathan untuk Oliver. Jika sebelumnya Dafa masih meyakini bahwa suatu saat Nathan kan melihatnya, Nathan akan berbalik untuk memeluknya, Nathan akan mulai membalas persaannya, kali ini tidak.

Kini Dafa tahu, pintu itu tidak akan pernah bisa ia buka. Sampai kapanpun. Dan pada akhirnya Dafa hanya akan menjadi sahabat untuk Nathan. Selamanya.

“Kalo begitu gue yakin, Oliver pasti orang baik. Dia sayang banget sama lo dan ga mungkin dia nyakitin lo sampe segininya. Lo harus percaya sama Oliver. Dan yang lebih penting, lo harus tanya sendiri sama Oliver, gue gak mau lo terjebak sama jawaban di kepala lo yang itu semua belum terbukti kenebarannya.”

Tidak, Dafa tidak sekuat itu sebenarnya. Apa kalian pernah melakukan apa yang Dafa lakukan sekarang?

Dafa bisa saja mengambil kesempatan ini untuk memiliki Nathan, namun kebahagiaan Nathan bukan dengannya. Dan sesuatu yang dipaksakan tidak akan berakhir baik.

“Disaat seperti ini bukannya orang yang harus lo percaya adalah pacar lo?”

Nathan terdiam. Iya, bagaimana dia bisa secepat ini terpengaruh oleh foto yang belum pasti benar?

“Gue akan nanya ke Oliver secepetnya.” Nathan menghapus air matanya dan memandang Dafa dengan senyum.

“Makasih ya, Daf.” Kini nathan memeluk Dafa.

Meski sempat terkejut namun perlahan Dafa pun membalas pelukan Nathan. Mengusap punggung sahabat yang dicintainya itu.

“Anytime, Nath. If you need me, call me.”

'Apapun buat lo nat. Meskipun gue tau gue gak akan lebih dari sekedar sahabat buat lo, tapi gue bersyukur masih bisa terus ada di samping lo saat lo sedih atau senang.'

Satu dari keinginan Dafa sekarang terwujud, Nathan berbalik dan memeluknya, namun tidak dengan membalas cintanya. Gak apa apa, karena bentuk cinta itu banyak. Dan saat ini Dafa memilih bentuk cinta yang paling tinggi. Yaitu mengikhlaskan.

“Ihhh peluk-peluukkk”

Suara Priscilla dan Evlyn yang ternyata sudah datang membuat pelukan mereka terlepas.

“Nathaann matanya bengkak bangeettt.” Priscilla berlalu mendekati Nathan, menangkup wajah lelaki itu dengan khawatir.

“Ini kayaknya efek kurang healing deh! Gimana kalo sekarang juga kita ke Warpat! Mumpung masih pagiii. Ayo ayoo.”

Priscilla, si paling kecil diantara semuanya. Happy virus ditengan kesedihan.

“Eh gue gak bawa mobil?” -Dafa

“Mobil gue juga dipinjem bokap nih.” -Nathan.

“Tenang! Caka ikut. Dia bawa mobil.” -Evlyn

Setelahnya terdengar suara klakson mobil yang menandakan bahwa Caka ada di depan sana.

“Gas??”

“Gass!!”

Begitulah, perjalanan yang tidak direncanakan biasanya selalu terrealisasikan. Mereka benar-benar pergi hari itu juga menuju dataran tinggi Jawa Barat.

Trust

Nathan's House 09:00 AM

Dafa adalah orang pertama yang sampai di rumah Nathan. Setelah pemiliknya membukakan pintu, Dafa langsung masuk dan pandangannya pun tak luput dari wajah sahabatnya itu. Dafa bahkan lupa kapan terakhir kali Nathan sesedih ini karena seingatnya Nathan selalu bahagia setelah Oliver menjadi pacarnya.

“Lo gak apa-apa?”

“Menurut lo?”

“Mata lo bengkak banget, kompres dulu ya?” Tak perlu menunggu persetujuan dari lawannya, Dafa langsung mengambil sebaskom air dingin serta handuk untuk mengompres mata Nathan.

Sedang Nathan hanya bisa diam menuruti sahabatnya ini.

“Mau cerita?” Tanya Dafa yang dijawab anggukan kecil oleh Nathan.

“Gue baru aja dikasih liat foto-foto Oliver sama rekan kerjanya, mereka mesra banget, Daf. Gue pusing liatnya. Bahkan difoto itu mereka ciuman.” Air mata Nathan kembali mengalir.

“Gue boleh liat foto-fotonya?”

Seketika Nathan mengambil handphone nya dan menunjukkan semua foto yang ia dapat.

“Lo udah tanya langsung ke Oliver?” Nathan menggeleng.

“Lo tau cewek ini siapa?” Nathan mengangguk.

“Oliver pernah cerita kalo cewek itu namanya Tiara, mereka pernah jadi partner waktu Oliver masih jadi boyfriend rent, selama setahun. Oliver bilang mereka gak lebih dari pacar sewaan. Tapi ngeliat foto-foto itu gue jadi gak yakin kalo setahun itu gak terjadi apa-apa sama mereka. Pasti salah satu dari mereka ada yang suka. Gue takut Daf, gue takut banget Oliver beneran ngelakuin itu ke gue. Gue bahkan gak berani nanya karena takut apa yang ada di kepala gue itu kejadian, Oliver selingkuhin gue.”

Dafa hanya diam, ia tahu saat ini Nathan hanya butuh didengar. Sebenarnya lelaki jangkung itu ingin sekali memeluk lelaki di hadapannya ini, karena pada dasarnya perasaannya belum memudar. Perasaannya masih sama, ditempat yang tak akan pernah tejangkau dan tergantikan oleh siapapun kecuali Nathan.

“Menurut lo, Oliver beneran selingkuhin gue apa gak?” Nathan bertanya. Meski tak diucapkan, Dafa tahu jawaban yang diharapkan Nathan adalah 'tidak'.

“Sebelum ini, Oliver itu orang yang terbuka atau gak sama lo? Pernah gak sekali aja dia bohong?” Dafa balik bertanya.

Nathan menggeleng dengan pelan. “Dia orang baik Daf, dia bahkan nyeritain semua tentang dirinya. Dipertemuan pertama kita aja dia perhatian banget ke gue. Dia selalu naruh kebahagiaan gue diatas segalanya, dia selalu make sure gue happy di deket dia. He's so kind.”

Yang Dafa lihat hanya cinta yang sangat besar di mata Nathan untuk Oliver. Jika sebelumnya Dafa masih meyakini bahwa suatu saat Nathan kan melihatnya, Nathan akan berbalik untuk memeluknya, Nathan akan mulai membalas persaannya, kali ini tidak.

Kini Dafa tahu, pintu itu tidak akan pernah bisa ia buka. Sampai kapanpun. Dan pada akhirnya Dafa hanya akan menjadi sahabat untuk Nathan. Selamanya.

“Kalo begitu gue yakin, Oliver pasti orang baik. Dia sayang banget sama lo dan ga mungkin dia nyakitin lo sampe segininya. Lo harus percaya sama Oliver. Dan yang lebih penting, lo harus tanya sendiri sama Oliver, gue gak mau lo terjebak sama jawaban di kepala lo yang itu semua belum terbukti kenebarannya.”

Tidak, Dafa tidak sekuat itu sebenarnya. Apa kalian pernah melakukan apa yang Dafa lakukan sekarang?

Dafa bisa saja mengambil kesempatan ini untuk memiliki Nathan, namun kebahagiaan Nathan bukan dengannya. Dan sesuatu yang dipaksakan tidak akan berakhir baik.

“Disaat seperti ini bukannya orang yang harus lo percaya adalah pacar lo?”

Nathan terdiam. Iya, bagaimana dia bisa secepat ini terpengaruh oleh foto yang belum pasti benar?

“Gue akan nanya ke Oliver secepetnya.” Nathan menghapus air matanya dan memandang Dafa dengan senyum.

“Makasih ya, Daf.” Kini nathan memeluk Dafa.

Meski sempat terkejut namun perlahan Dafa pun membalas pelukan Nathan. Mengusap punggung sahabat yang dicintainya itu.

“Anytime, Nath. If you need me, call me.”

'Apapun buat lo nat. Meskipun gue tau gue gak akan lebih dari sekedar sahabat buat lo, tapi gue bersyukur masih bisa terus ada di samping lo saat lo sedih atau senang.'

Satu dari keinginan Dafa sekarang terwujud, Nathan berbalik dan memeluknya, namun tidak dengan membalas cintanya. Gak apa apa, karena bentuk cinta itu banyak. Dan saat ini Dafa memilih bentuk cinta yang paling tinggi. Yaitu mengikhlaskan.

“Ihhh peluk-peluukkk”

Suara Priscilla dan Evlyn yang ternyata sudah datang membuat pelukan mereka terlepas.

“Nathaann matanya bengkak bangeettt.” Priscilla berlalu mendekati Nathan, menangkup wajah lelaki itu dengan khawatir.

“Ini kayaknya efek kurang healing deh! Gimana kalo sekarang juga kita ke Warpat! Mumpung masih pagiii. Ayo ayoo.”

Priscilla, si paling kecil diantara semuanya. Happy virus ditengan kesedihan.

“Eh gue gak bawa mobil?” -Dafa

“Mobil gue juga dipinjem bokap nih.” -Nathan.

“Tenang! Caka ikut. Dia bawa mobil.” -Evlyn

Setelahnya terdengar suara klakson mobil yang menandakan bahwa Caka ada di depan sana.

“Gas??”

“Gass!!”

Begitulah, perjalanan yang tidak direncanakan biasanya selalu terrealisasikan. Mereka benar-benar pergi hari itu juga menuju dataran tinggi Jawa Barat.

First and Last Failure.

Nathan's House

Saat hari sudah menjelang malam, saat Nathan berjalan untuk membukakan pintu dan saat Nathan melihat keadaan kekasihnya yang jauh dari kata baik-baik saja, Nathan tahu Rachel memang benar.

Rachel benar bahwa Oliver sedang membutuhkannya.

Namun satu yang Nathan tak mengerti. Kenapa kekasihnya diam, kenapa Oliver tak langsung mendatanginya? Bukankah seharusnya ia adalah orang pertama yang Oliver cari?

Nathan tak tahu apa yang telah dilalui Oliver sampai membuat keadaannya seburuk ini.

Meskipun tak ada timbangan, Nathan tahu bahwa berat badan Oliver menurun, kelopak mata menghitam kurang tidur, kantung mata yang menonjol dan bibir pucat. Namun bak aktor profesional, Oliver menutupi itu semua dengan senyum lebar sambil mengangkat kotak pizza yang iya bawa seraya berucap 'Pizzanya dateengg'.

Nathan ingin menangis langsung namun ia tahan, yang ia lakukan hanya membalas senyum lalu buru-buru menyuruh Oliver masuk.

Nathan membiarkan semuanya berjalan tenang dengan suasana yang Nathan buat sehangat mungkin, makan dengan diselingi tawa atas candaan yang Oliver buat.

Seakan tak mau kalah dari Oliver, Nathan pun sebenarnya menyembunyikan rasa kecewa dibalik tawanya. 'Kenapa? Kenapa aku gak tau kamu lagi dalam keadaan kayak gini, Ver? Kamu gak percaya sama aku?'

Namun Nathan telan lagi pertanyaan-pertanyaan yang sudah berada di ujung lidahnya itu. Setidaknya sampai makan malam mereka habis.

“Kamu nginep sini aja ya?” Nathan bertanya setelah membereskan sisa makanan mereka.

Dan Oliver tersenyum sambil menjawab, “Iya sayang.”


Kini keduanya sudah berada dalam satu kamar, kamar Nathan. Dengan Oliver yang baru saja keluar dari kamar mandi, masih dengan rambut basah.

“Ver, kamu kenapa?”

Dari sekian banyak tanya hanya itu yang bisa Nathan ucapkan.

“Aku kenapa?” Oliver tentu bingung kenapa Nathan nya ini.

Oliver berjalan mendekati Nathan yang terduduk dipinggir kasur, kini Nathan harus mendongakkan kepalanya.

“Mata kamu, berat badan kamu, kenapa? Kenapa gak cerita apa-apa sama aku? Kenapa aku jadi orang yang gak tau apa-apa tentang pacar aku sendiri?”

Suara parau Nathan mengiris hati Oliver. Maksud hati ingin menjaga Nathan dari kesedihan, tapi malah membuat Nathan kecewa.

“Kenapa harus Rachel yang kasih tau aku kalo kamu lagi butuh aku? Kenapa kamu gak kasih tau aku? Kenapa aku gak peka sama keadaan kamu? Aku kurang aware sama pacar aku sendiri..”

Bukan, bukan hal ini yang Oliver inginkan, Oliver tidak ingin Nathan menyalahkan dirinya sendiri seperti ini.

“Maafin aku, maafin aku.” Oliver berlutut, menunduk meminta maaf di depan Nathan.

“Aku gak bermaksud buat nutupin semuanya dari kamu.” Suara Oliver tak kalah parau dari Nathan sekarang.

Nathan menangkup pipi Oliver, mengusap pipi serta kantung mata yang sangat terlihat, menggigit bibirnya sendiri saat nyeri di hatinya terasa.

“Papah tau aku punya kamu. Papah gak suka ada kamu di hidup aku... Gak, papah gak suka aku bahagia. Dia kasih aku kerjaan yang banyak buat bikin aku tertekan, papah gunain semua powernya buat ngepush aku jauh dari kamu.”

Oliver menjeda kalimatnya.

“Aku gak mau kamu sedih karena papahku, aku gak mau ini ngelukain kamu. Aku cuma mau bahagiain kamu dan jauhin kamu dari semua hal yang bisa bikin kamu sedih. Aku takut kalo kamu tau, kamu jadi nyalahin diri kamu dan membebani kamu. Dan yang paling parah aku takut kamu pergi. Aku takut kamu ninggalin aku kayak mereka.”

Air mata jatuh bersamaan. Nathan dan Oliver menangis dengan alasan yang sama. Karena mereka tahu mereka sangat amat mencintai hingga ketakutan menguasai salah satunya.

“Kamu tau aku gak akan ngelakuin itu kan?” Nathan menghapus air mata kekasihnya.

“Maafin aku, maaf aku gak ada saat kamu tertekan, Ver. Saat harusnya aku jadi orang yang pertama kali beri kamu semangat, saat harusnya aku jadi orang yang kasih kamu pelukan tapi aku gak ada disana buat kamu.”

Ya, Nathan juga merasa bersalah disini. Harusnya ia tahu jika kekasihnya membutuhkannya. Tapi apa? Ia hanya sibuk dengan pekerjaan yang buru-buru ia selesaikan padahal tak ada yang mengejarnya.

Saat ia sibuk sampai membiarkan hari-hari kosong tanpa chat dan telfon dari Oliver, yang sialnya ia tak merasa khawatir akan hilang kabar yang kekasihnya lakukan selama berhari-hari itu.

Saat kekasihnya mungkin sedang mati-matian menahan pressure dari ayahnya, ia malah sibuk zoom meeting dengan Bintara hingga larut di waktu yang seharusnya Nathan utamakan untuk Oliver.

“Semua gak akan kayak gini kalo dari awal aku cerita semuanya ke kamu.” Oliver menatap dalam manik indah kecintaannya.

Nathan mengangguk. “Jangan lakuin ini lagi, ini kegagalan kita untuk yang pertama dan terakhir kali. Jangan di ulang. Kamu bisa cerita semuanya, seburuk apapun itu aku gak akan pernah tinggalin kamu.”

Nathan mengecup bibir Oliver. “Aku janji.” Ucap Oliver.

Jika bukan Nathan, siapa yang akan melindungi Oliver? Jika bukan Oliver, siapa yang akan membahagiakan Nathan?

Keduanya pun tidak akan pernah ingin hal itu digantikan oleh orang lain selain mereka.


“Nangis aja kupu-kupu aku tetep manis yah.” Oliver tertawa sambil mengusap lelehan air mata Nathan.

“Kamu ya yang bikin aku nangis! Gak usah sok manis gitu ngomongnya.”

Keduanyapun tertawa sambil masih saling menatap dengan posisi tetap seperti awal percakapan berat mereka.

Lama-lama tatapan Nathan makin dalam menyelami samudra legam kekasihnya, mengikis jarak keduanya hingga hidung mereka menyatu.

“It's time to recharge your energy.” Akhir dari ucapan Nathan adalah menyatunya kedua bibir anak adam yang saling menyayangi.

Hanya ini yang Nathan bisa beri untuk menebus segalanya.

Lumatan-lumatan lembut yang dipimpin oleh Nathan dengan elusan intens ditengkuk Oliver tenyata semakin membakar suasana di dalam kamar bernuansa biru itu.

Suara kecapanpun makin terdengar saat Oliver membalas Nathan, tangannya kini sudah melingkar sempurna di pinggul Nathan, bibirnya mulai mengambil alih kepemimpinan. Mengisap sekaligus menggigit bongkahan ranum milik kekasihnya yang sialnya sangat manis.

Saat Oliver mulai menggila dengan jilatan-jilatannya, Nathan malah semakin merapatkan tubuhnya pada Oliver yang masih berlutut itu.

Nathan memasrahkan bibirnya di hisap habis, Nathan membiarkan dirinya dimakan hidup-hidup oleh Oliver.

Lenguhan mulai terdengar bersamaan dengan masuknya lidah Oliver, merajalela di dalam mulut hangatnya. Tanpa melepas tauran kedua lidah liar itu, Oliver bangun mengangkat tubuh Nathan untuk berbaring sepenuhnya di kasur.

“Aahh..” Alih-alih menyudahi, Nathan malah mengeratkan pelukannya di leher kekasihnya sedang Oliver hanya mengikuti insting nya untuk mengecupi seluruh permukaan wajah Nathan.

Dagu dan seluruh pipi Nathan telah basah oleh Oliver, hingga bibir dingin itu sampai di telinga lawan di bawahnya.

“Hhmh, Nath..” Panas sudah.

“I'm all yours, Ver. Sekarang, malam ini, detik ini, jangan pikirin apapun selain aku. Lepasin semua nya, lampiasin ke aku-nghh.. Kamu boleh istirahat dan habisin waktu kamu di sini selama yang kamu mau.”

“I will.”

***

Just Feeling

Cafe 03:20 PM

Oliver berjalan masuk dan dengan mudah menemukan kekasihnya yang benar aja hanya meeting berduaan dengan seorang laki-laki yang ia tak kenal.

“Sayang.”

Nathan tersenyum lalu menggeser duduknya agar Oliver bisa duduk disebelahnya.

Entahlah, tapi Oliver merasa kehadirannya tidak diharapkan oleh salah satu manusia disini.

“Mas, kenalin ini Oliver, pacar saya. Oliver, ini mas Bintara, klien aku.”

Kedua lelaki yang duduknya saling berhadapan itupun berjabat tangan. Tatapan Bintara nampak tak bersahabat dan Oliver sangat tidak menyukainya -juga-.

“Sorry ya gue jadi nimbrung. Kayaknya kecepetan jemput PACAR gue nya.”

Oliver dengan sengaja menekan kata 'pacar'.

“Gak apa apa. Santai aja, asal lo gak ganggu sih gue gak masalah.” Saut Bintara.

“Yaudah silahkan lanjutin meetingnya.”

Walau tidak sepenuhnya mengerti pembahasan mereka, Oliver tetap memperhatikan keduanya. Sejujurnya hanya memerhatikan Bintara, karena gelagatnya sangat menyebalkan.

Liat aja sekarang dia lagi ngapain. Dengan sengaja Bintara menyentuhkan jemarinya diatas jemari Nathan lalu menaikkan alisnya kearah Oliver.

'ASU. MAKSUTE OPO TOH?!' (Anjing, maksudnya apa sih?!)

Oliver harus mati matian menahan emosinya, udah kesabarannya setipis tisu, eh dikasih ujian kayak gini.

**'Ini perasaan gue aja atau emang ini cowok nantangin gue sih?!' **

“Terus aku mau pallete warna nya agak tajem yah, preview yang kemarin kamu kasih itu terlalu soft.”

“Tadi sama gue ngomongnya 'gue-lo' sama Nathan 'Aku-kamu'. Fix gk beres nih orang!”

“Ok mas, nanti saya revisi. Ada lagi?”

“Cukup deh hari ini. Kalo ada yang mau ditanyain lagi kamu bisa telfon aku ya.”

“TELFON KATANYA?! NGAJAK SLEEP CALL GITU?!” Sayang sekali itu hanya terucap di pikiran Oliver saja.

“Kalo gitu saya pamit duluan ya mas. Makasih untuk meetingnya, akan saya selesain secepetnya.”

Setelah memberesi barangnya, Oliver langsung menggenggam tangan Nathan. Nathan yang mulai sadar sikap Oliver agak berbedanpun hanya diam dan menurut saja.

“Kita duluan ya. Very nice to meet you, Bintara.”

Dan keduanya pun beranjak meninggalkan Bintara yang menatap punggung Oliver dari belakang dengan tatapan yang aneh.


“Emang gitu ya orangnya?”

“Gitu gimana?”

“Suka pegang-pegang kamu.”

Nathan terkekeh, menatap wajah pacarnya yang menyetir sambil cemberut.

“Hmm, emang rese sih orangnya. Udah pernah cerita kan aku.”

“Kalo meeting selalu berduaan aja?” Oliver sepertinya akan banyak bertanya.

“Iya, ini coffee shop punya dia sendiri. Jadi gak ada partner lain.”

“Pokoknya harus jaga jarak ya. Aku gak mau dia pegang-pegang kayak tadi lagi.”

“Iya sayangkuu, kamu tenang aja ya.” Nathan mengusap pipi Oliver, menenangkan kekasihnya yang sedang cemburu ini.

“Kamu ini gimana bisa keluar belum waktunya?” Giliran Nathan yang bertanya.

“Buat apa punya bawahan kalo gak bisa bagi bagi kerjaan? Hahaha- aw! Kenapa dicubit?!”

Oliver mengusap pahanya yang panas habis dicubit Nathan.

“Tega banget kerjaannya dilimpahin ke Julian terus!”

“KOK KAMU PERHATIAN SAMA JULIAN?! Dia aja kerjaannya cuma tp tp ke cowok divisi sebelah. Bagus aku kasih kerjaan dia. Lagian dia gak sendiri, ada Tiara sama Karina yang bantuin.”

Kini mobil mereka sudah terparkir di rumah Nathan dan keduanyapun sudah masuk kedalam rumah hangat itu.

“Tiara? Karina? Siapa tuh? Kamu belum pernah cerita.”

“Kalo Karina itu karyawan papahku tapi sekarang udah jadi bawahan aku. Kalo Tiara anak baru tapi aku udah kenal lama sama dia. Kapan-kapan aku kenalin yah.” Ucap Oliver sambil mengambil sekaleng soda dari kulkas.

“Kayaknya kenal banget tuh kamu sama Tiara.”

“Sini aku ceritain.”

Oliver menarik tangan Nathan, membuat Nathan duduk diatas pangkuannya.

“Aku sama Tiara udah kenal lama. Iya kita deket banget, dulu dia pernah jadi partner aku. Dia rent aku setahun gitu deh.” Cerita Oliver.

“Hah? Setahun? Lama amat anjrit. Ngapain aja kamu sama dia?! Jangan jangan kalian pacaran beneran?? Kamu suka ya sama dia?!”

Wajar saja dengan reaksi Nathan, ia pasti kaget.

“Enggak sayang. Kita dulu bisa partneran setahun karena saling nguntungin aja sih. Dia butuh aku buat bahan skripsi nya. Aku butuh dia buat ngalihin pikiran aku dari orang tua aku. That's it.”

“Oh.”

“Serius aku gak bohong. Kita gak pernah saling suka dan aku gak pernah ngelakuin hal hal spesial sama dia.”

Nathan menatap Oliver dan mengangguk dengan senyum. “Aku percaya kok.”

“Tiara orangnya baik, easy going, lucu lagi. Kamu harus kenal sama dia sih.”

“Ok kenalin aku sama dia nanti ya.”

“Siap sayangku.”

Oliver's Purposes

“Macet banget nih kayaknya. Udah jam 7 masih belum dateng juga.”

Nathan mengalihkan pandangannya dari jam dindinnya, menunggu kedatangan Oliver yang katanya sih tadi mau jemput. Sebenernya Nathan juga gak tau mau kemana, gak ngabarin eh tau tau ngajak keluar.

“Tapi kok gak ngechat lagi ya? Gue telfon aja kali? Ah jangan-jangan baterainya habis??”

Perlahan rasa khawatir mulai melingkupi Nathan bersamaan dengan turunnya hujan. Tambah saja Nathan makin panik.

“Tenang Nath Tenang, kali aja beneran hp nya mati terus masih kejebak macet.”

Hujan makin deras dan hari makin malam, Nathan mulai mondar mandir berusaha menelfon Oliver namun tak ada jawaban. Tapi setelahnya ketukan terdengar.

Secepat kilat Nathan berlari dan membuka pintu berharap Oliver yang datang.

“Hai, hehe.”

“IH! KEMANA AJA SIH BIKIN PANIK! KENAPA BASAH GINI? KALO SAKIT GIMANA?!”

Oliver diserbu pertanyaan menggebu dari Nathan namun ia hanya tersenyum.

“Hahaha, tadi ban mobil aku bocor, terus ya terpaksa ganti dulu di pinggir jalan. Sambil ujan-ujanan. Sekarang udah boleh masuk belum? Dingin nih.”

Dengan wajah masih kesal, Nathan menggandeng Oliver masuk, membantu melepaskan jaketnya.

“Mending kamu mandi dulu sekarang, terus ganti baju biar gak sakit.”

“Aku gak bawa baju?”

“Ya aku juga tau, pake baju aku lah. Nanti aku siapin, handuknya ada di dalem kamar mandi.”

Dengan anggukan, Oliver mengikuti semua perintah Nathan sedangkan Nathan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan teh hangat.

“Hahh syukur deh gak kenapa-napa. Sekalian bikin makan deh, pasti belum makan malam.”

Nathan kembali bergumul di dapurnya, tidak banyak yang ia masak karena kebetulan yang ia punya hanya tersisa mie rebus dengan beberapa sayur dan sosis. Ia rasa cocok untuk dimakan malam ini.

“Nat? Bajunya?”

Nathan menoleh mendapati Oliver di depan pintu kamarnya hanya memakai handuk. Nathan lupa menyiapkan baju untuk Oliver.

“Oh iya. Kamu ambil aja di lemari aku deh. Aku lagi siapin makanan.”

Dan lagi Oliver hanya menurut. Kini makanan sudah siap dan mereka berduapun sudah duduk di kursinya masing masing. Saling pandang.

“Sorry ya, tadinya aku mau ajak dinner di luar. Malah jadi begini.”

Oliver membuka suara ditengah aktifitas makannya.

“Yang penting kamu sampe kesini selamet aja aku udah bersyukur. Tapi jadinya kita cuma makan mie. Aku keabisan bahan makan, gak liat lagi.”

“Gak apa-apa. Seenggaknya satu dari tiga tujuan aku terlaksana.”

“Apaan tuh?”

“Dinner sama kamu.”

Oliver menatap wajah Nathan, menanti kata apa yang selanjutnya keluar dari mulutnya.

“Yang dua gagal ya?” Dan Oliver menjawab dengan anggukan sekaligus gelengan, membuat Nathan mengernyitkan dahi nya.

“Gimana dehh? Jadi gagal atau engga?” Tanya Nathan lagi.

“Yang satu gagal, satu lagi belum tau.”

“Mulai deh gak jelas nya.” Nathan memutar bola matanya malas.

Oliver menggeser kursinya agar lebih mendekat dengan Nathan.

“Yang satu lagi belum tau karena aku masih butuh jawaban dari kamu.”

Oliver mengeluarkan sebuah bracelet berliontin butterfly, memasangkannya langsung pada Nathan. Tentu saja Nathan yang gak tau apa-apa masih bingung.

“Pasangannya udah aku pake.”

Oliver menunjukkan pergelangan tangannya yang ternyata sudah memakai bracelet yang sama dengan punya Nathan.

“Tiba-tiba banget ngasih gelang. Couple lagi?” Nathan mengamati bracelet nya dengan senyum.

“Suka?” Tanya Oliver, dan tentu saja Nathan mengangguk.

“Bukan gelang nya. Tapi aku.”

Nathan mengubah posisi duduknya agar berhadapan dengan Oliver.

“Jadi maksudnya butuh jawaban ini? Bukannya udah jelas yah?” Oliver terkekeh saat Nathan mencubit pipinya.

“Ayo jadian!”

Kali ini Oliver yang terkejut.

“Nat!! Itu barusan harusnya dialog aku!!” Ucap Oliver kesal kata-kata nya diambil Nathan.

“Oke mulai hari ini kita pacaran.”

“Pokoknya aku yang nembak ya.” Oliver masih ngotot sedang Nathan mulai tertawa. Satu lagi sifat Oliver yang Nathan suka. Bertingkah seperti bayi.

“Naatt, aku yang nembak kann?” Oliver memeluk pinggul Nathan, memanyunkan bibirnya dan merengek seperti bayi.

“Aku lahh. Hahaha, siapa suruh kelamaan.”

“Gak gak. Pokoknya kita udah jadian sejak kamu pake gelang itu. Titik.”

“Iya bayii.” Nathan mengusak rambut Oliver yang masih sedikit basah lalu mengecup bibirnya. Pada akhirnya Nathan juga yang mengalah. Sebetulnya tidak penting siapa yang 'menembak'. Yang penting adalah sekarang mereka resmi memiliki satu sama lain.

“Bayi? Bayi yang bisa bikin bayi maksud kamu?” Setelahnya sebuah sentilan bendarat di kening Oliver.

“Bayi gak boleh macem-macem. Udah lepasin dulu pelukannya, aku mau beresin piringnya. Habis itu kita istirahat.”

“Istirahat sambil peluk kamu?”

“Iya sambil pelukan.”

“Wohoo!”

Oliver benar-benar senang sampai melompat kegirangan, Nathan juga sangat senang, namun tidak mungkin juga ia ikut lompat seperti Oliver.

Ini terdengar seperti misi mengasuh bayi dari pada disebut berpacaran.

Happy New Year

Oliver dan Nathan kini telah sampai di tujuan mereka yang pertama untuk melihat kupu-kupu Nathan. Oliver benar-benar merawatnya dengan tekun, sejak hari pertama kupu-kupu itu keluar dari kepompongnya Oliver selalu mengawasi pertumbuhannya.

Oliver mau kupu-kupu Nathan berumur panjang agar tetap melihat senyum Nathan yang luar biasa merekah sangat indah saat melihatnya.

Oliver seakan lupa jika kupu-kupu adalah hewan yang memiliki jangka waktu hidup yang sedikit. Tak terkecuali kupu-kupu Nathan.

“Yahh, Oliver kupu-kupunya mati..”

Nathan menatap kandang kupu-kupu bernama Namtan dengan sedih. Ya, kupu-kupunya mati.

Oliver gak lagi melihat senyum bahagia, tapi kesedihan. Oliver membuat Nathan sedih.

“T-tapi kemaren masih hidup kok. Bener Nat, masih hidup.” Suaranya bergetar di belakang Nathan. Tak hanya suara ternyata seluruh tubuh Oliver gemetar.

Kenangan masa lalunya seperti film yang terputar kembali, disaat semua orang yang ia sayang mengatakan mereka kecewa dan tak bahagian memilikinya.

Oliver takut Nathan akan meneriakkan hal yang sama padanya.

“Ver?? Oliver are you ok?? Hey.” Nathan sedikit menepuk pipi Oliver untuk menyadarkannya.

Nathan kebingungan sekaligus khawatir melihat Oliver dengan tubuh gemetar dan tatapan kosongnya.

“Lo gemeter gini, lo sakit?? Ayo duduk dulu.”

Nathan menuntun Oliver untuk duduk lalu menggenggam kedua tangannya yang gemetar hebat. Mata Oliver tak teralih dari wajah Nathan.

“Lo sakit?? Kok gak bilang? Tangan lo dingin banget, Ver.”

“Kupu-kupunya mati, Nat.. Gue ngecewain lo, gue bikin lo sedih, gue bikin lo gak bahagia di sini, gue gak-”

“Heeyy, it's ok. Gue emang sedih tapi lo gak ngecewain gue.”

Nathan menangkup pipi Oliver, membawa wajahnya untuk menatapnya. Nathan cemas karena wajah Oliver memucat. Ucapannya tadi juga berantakan tapi Nathan gak tau penyebabnya apa.

“T-tapi kupu-kupunya.”

“Oliver, semua yang hidup itu akan mati dan hal ini gak bisa kita hindarin. Gue emang sedih kupu-kupunya mati, tapi gue seneng di dalem sana ada ulat-ulat baru yang hidup karena kupu-kupu yang mati tadi.”

Nathan kembali menggenggam tangan Oliver dengan erat. Masih dingin dan sedikit gemetar.

“Lo gak marah sama gue? Gak kecewa sama gue karena gak bisa jaga kupu-kupu lo kayak janji gue itu?” Oliver mengeratkan genggamannya, takut akan jawaban Nathan.

“Kenapa gue harus marah? Justru gue seneng bisa ketemu kupu-kupu seindah itu karena lo, udah ijinin gue kasih nama dia. Lo gak ngecewain gue Ver. Gak pernah.”

Dan setelahnya helaan napas lega keluar dari Oliver, meski tangannya masih dingin dan butuh waktu untuk menetralisirnya.

“Lo kayaknya lagi gak sehat. Mau pulang aja? Gak usah ke rumah orang tua gue.”

Pertanyaan Nathan langsung dijawab gelengan oleh Oliver.

“Jangan, gue ok kok, gue baik-baik aja, gue sehat. Jangan sampe gak jadi kesana nanti mereka kecewa sama calon mantunya.”

“Mulai deh Oliver ngaco nya.”

Setelah menunggu Oliver tenang beberapa menit akhirnya mereka berdua beranjak dari sana untuk berangkat menuju rumah Nathan.

“Gue aja yang bawa mobilnya. Lo istirahat dulu, bisa tidur mungkin, perjalanannya kan lumayan jauh.”

Dan Oliver tak menolak, bahaya juga jika ia memaksa menyetir dikondisi seperti ini, jadilah sekarang Nathan melajukan mobilnya menuju rumah kedua orang tua Nathan.


“Ciee pasangan kita udah dateng, yuk langsung ke halaman aja.”

Seperti biasa Ninda menyambut kedatangan mereka berdua dengan senyum hangat keibuannya.

“Sini tante bawain.” Ninda mengambil beberapa jinjingan yang dibawa Nathan.

“Itu ada makanan sama Oliver bawa bingkisan.” Setelah itu Nathan kembali ke sisi Oliver, menggandeng lengan Oliver untuk ikut masuk ke dalam.

“Mas, liat nih Oliver bawa apa.”

“Wih, wine kesukaan ayah nih.”

Wajah Tama yang tadinya sedang serus menyiapkan peralatan untuk bakar-bakarnya kini menjadi sumringah melihat apa yang dibawa Oliver.

“Ini kan mahal Ver, kamu dapet aja.” Lanjut ayah Nathan itu.

“Di rumah banyak om. Jadi saya bawa beberapa buat om.”

Oliver bernapas lega karena tidak salah langkah untuk mendekata kedua orang tua Nathan.

Waktu berjalan cepat hingga detik-detik pergantian tahun sudah dekat. Makanan sudah habis dimakan, tawa dan canda memenuhi mereka semua.

Tama dan Ninda memperlakukan Oliver seperti anak mereka sendiri, membuat Oliver kembali merasakan hangat sebuah keluarga yang sudah lama tak ia dapatkan. Oliver merasa sangat disayang.

Kini Tama dan Oliver sudah bersiap dengan petasannya, Ninda dengan handphone nya serta Nathan dengan terompetnya.

“Tiga! Dua! Satu! Happy New Yeaarr!”

Kini langit mereka dihiasi warna-warni kembang api yang indah dan suara riuh terompet yang ditiup Nathan, Oliver bersyukur bisa merasakan kebahagiaan di awal tahun ini.

Melihat Nathan dengan senyum serta tawa yang begitu mempesona dirinya.

“Selamat tahun baru sayang.” Tama mengecup bibir Ninda namun saat Oliver ingin melakukan hal yang sama malah dihadang oleh Tama.

“Heh heh! Mau ngapain tuh, main nyosor aja.”

Lalu semuanya kembali tertawa.

Oliver meraih pinggul Nathan, membawanya kedekapan hangatnya.

“Happy new year, Nathaniel.”

“Happy new year, Oliver.”

Mata keduanya saling tatap begitu lama, mengagumi keindahan masing-masing. Menyelam begitu dalam sampai keduanya terlarut dan kedua bibir itu akhirnya bertaut.

Tak ada lumatan, hanya kecupan yang lumayan panjang lalu diakhiri dengan usapan di pipi Oliver. Senyum keduanya melebar, merasa geli di perutnya mengingat ini adalah first kiss mereka, diawal tahun.

Sementara di kejauhan Ninda dan Tama juga berpelukan, mengawasi anak-anak mereka yang sedang kasmaran itu.

“Romantis banget ya mas. Mba Namtan pasti seneng banget deh anaknya udah besar, udah nemuin pendampingnya sendiri.”

Tama membawa Ninda makin dekat kearahnya, mengecup kening istrinya itu dengan penuh kasih.

“Dia juga pasti seneng ada kamu disini yang jagain Nathan seperti kamu jaga anak kamu sendiri. Aku bersyukur kamu ada di hidupku.”

Dua pasangan dengan dua cerita berbeda melalui malam pergantian tahun bersama. Indah bukan?

A Long Hug

22:10 Nathan's house

Tak perlu waktu lama bagi Oliver untuk sampai di rumah Nathan. Setelah dibukakan pagar dan memarkirkan motornya di garasi, Oliver pun masuk mengikuti Nathan di depannya.

“Lo udah makan malem? Kalo belom gue bikinin makan dulu nih.” Nathan duduk disamping Oliver yang sudah melepaskan Jaketnya.

“Gue udah makan kok, Nat.”

Mereka berdua saling tatap namun ada tanda tanya di mata Oliver.

“Sebenernya ada yang mau gue tanyain, Nat.”

“Apa?”

“Kenapa lo mau? Maksud gue, itu kan gue lagi mabok. Harusnya lo gak usah beneran nurutin kemauan orang mabok gak sih?”

Nathan terkekeh mendengar pertanyaan Oliver. “Lo kan masih gue sewa, artinya lo masih jadi pacar gue sebelum masa sewa abis.”

Oliver ikut terkekeh dan menggelengkan kepalanya. Jadi ini alasannya?

“Kenapa ketawa? Bener lagi. Kalo pacaran kan harus give and take. Kemaren pas gue crowded lo temenin gue keluar, ngajak gue makan terus liat butterfly. Sekarang lo lagi butuh afeksi ya gue kasih.”

“Baru kali ini gue punya hubungan yang macem ini sama partner gue.” Oliver menyamankan duduknya di sofa lalu melanjutkan kata-katanya.

“Biasanya kalo lagi on job, kerjaan gue ya cuma nurutin request an parter gue hahaha. Apalagi lo berani banget ngajak gue yang notabene nya stranger masuk ke rumah lo, malem-malem lagi. Cuma buat do some cuddle.”

“Ya ini kan bukan pertama kalinya gue nyewa lo. Orang tua gue juga udah kenal lo, buat apa takut? Paling kalo gue kenapa-kenapa juga lo yang bakal di abisin bokap gue.”

Keduanyapun tertawa. Baru kali ini Nathan melihat Oliver tertawa selepas ini, dan Nathan menyukainya.

Tanpa sadar Nathan dan Oliver menyukai hal yang sama satu sama lain. Senyum dan tawa. Satu hal yang berkesinambungan bukan?

“Agak gak bertujuan banget gak sih kalo kita hugging doang? Mau sambil nonton netflix gak?” Nathan bersuara menawarkan.

“Oh kita mau netflix and chill?”

“Stress lo. Gak gitu maksudnya hahaha.”

Nathan sedikit memukul lengan besar Oliver lalu setelahnya beranjak untuk mengambil cemilan dan soda untuk amunisi mereka.

Nathan duduk kembali di samping Oliver setelah menyalakan TV dan memilih tayangan apa yang ingin mereka tonton.

“Sini deketan, katanya want some hug?”

“A long hug as your promises?”

Dan Oliver langsung berhambur ke pelukan Nathan, benar-benar seperti bayi. Nathan gak tau kenapa Oliver bisa segemas ini.

Kini keduanya fokus menonton tayangan di depan mereka dengan Nathan yang merengkuh Oliver serta mengelus kepalanya.

Pelukan yang dirasa Oliver sangat hangat. Ini kali pertama juga bagi Oliver merasakan pelukan selain dari para sahabatnya.

Dari pelukan ini, Oliver bisa mendengan suara degup jantung Nathan yang iramanya sangat Oliver suka. Ok sepertinya Oliver akan kecanduan.


“Wow panjang juga durasi film nya.”

“Durasi pelukannya juga beneran long, hahaha.”

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam ketika film selesai diputar. Posisi mereka juga sudah berubah. Nathan yang berbaring sedangkan Oliver bertelungkup di samping Nathan dengan kepala yang berbaring diatas dada bidang Nathan. Bersyukur sofa nya lebar, jadi muat menampung mereka berdua tanpa perlu bertindihan.

Nathan mengeratkan pelukannya, melirik sekilas Oliver yang setengah mengantuk.

Ehem. Sebenarnya Nathan gak kuat mau teriak, soalnya Oliver bener-bener imut banget sekarang.

Tangan Oliver di pinggangnya pun ikut mengerat ketika merasa pergerakan dari Nathan.

“Ngantuk banget? Mau tidur di sini aja? Bahaya juga sih kalo lo nyetir malem-malem, apalagi udah ngantuk gini.”

Oliver mengangkat kepalanya menatap Nathan. “Gapapa? Serius?” Tanya nya.

“Iya gapapa. Gue punya kamar satu lagi kok. Lo bisa tidur disana.”

Sebenarnya Oliver gak mau pelukan mereka dilepas, namun ia juga masih punya adab untuk tidak meminta mereka tidur satu kamar.

Jadilah Oliver hanya mengangguk menuruti Nathan untuk masuk ke kamar yang dimaksud. Ok, bermalam di rumah Nathan juga tidak terdengar buruk sih.

Oliver memandang langit-langit kamar dengan berbagai macam pikiran di otaknya.

“Sial, nyaman banget lagi di peluk kayak tadi sama dia. Besok boleh minta peluk lagi gak ya?”

Dan setelahnya notifikasi ponselnya berpunyi.

Pesan dari Nathan ternyata.

“Good night, Oliver.”

Night Drive

22:45

“Kalo mau nangis juga gapapa.”

Oliver dan Nathan sudah berada di satu mobil, menyusuri jalanan kota yang sudah mulai sepi mengingat waktu sudah hampir tengah malam.

“Gak ada yang mau nangis tuh.”

“Dari tadi bibirnya udah kebawah tuh.” Oliver menusuk pipi berisi Nathan dengan telunjuknya lalu terkekeh kecil saat tangannya ditepis.

Mobil Oliver mulai berjalan lambat dan disadari oleh Nathan.

“Kok pelan-pelan?”

“Coba liat ke kiri.”

Pandangan Nathan beralih melihat apa yang ada di sebelah kiri nya. Sebuah taman biasa yang sepi namun dipenuhi lampion indah.

“Gue kalo sedih pasti bakal kesini. Di dalem sana ada kandang kupu-kupu punya universitas gue, tadinya gue mau ajak lo kesana. Tapi gak bisa soalnya udah malem dan udah tutup juga.”

“Kenapa lo kesana kalo sedih?”

“Karena gue bisa liat kupu-kupu yang gue rawat tumbuh. Gue juga bisa nikmatin indahnya. Kalo liat mereka gue jadi lebih merasa berguna aja buat kehidupan yang lain.”

Kini mobil mereka menepi. Oliver menatap Nathan lekat.

“Gak tau kenapa, gue ngerasa lo lagi sedih. Jadi walaupun gue gak bisa ajak lo ke dalem, gue bisa ajak lo kesini.”

Baru kali ini Nathan nemuin orang yang peka tentang dirinya selain sahabat-sahabatnya.

“Sekarang lo punya gue, orang yang bisa dengerin semua keluhan lo. Ya seenggaknya sekarang gue pacar lo.”

Oliver menggenggam tangan kanan Nathan, mengelus jari-jarinya.

“Gue masih kangen ibu gue, Ver. Tiap gue pulang dari rumah ayah gue ngerasa kayak ibu tuh ikut nganter gue pulang. Gue kangen di peluk ibu.”

Nathan gak mau nangis tapi air matanya keluar gitu aja. Ditambah lagi sekarang dirinya ditarik kedalam pelukan tiba-tiba Oliver.

“Walaupun gak sehangat pelukan ibu lo, mudah-mudahan ini ngobatin sedikit rasa kangen nya.”

“Hangat nya hampir sama, cuma besarnya enggak, hahaha.” Nathan tertawa ditengah tangisnya saat membalas pelukan Oliver.

Oliver terus mengelusi kepala Nathan, menunggu sampai tangisnya reda lalu ia melepaskan pelukannya.

“Makasih ya, udah mau hibur gue.”

“Anytime, sayang.”

Nathan lupa mereka masih pacaran.

“Gue boleh ikut nanya gak? Sebenernya lebih ke penasaran sih gue.”

“Tanya aja.” Oliver merapihkan rambut Nathan yang sedikit berantakan itu.

“Lo sejak kapan jadi boyfriend rent? Terus kenapa juga? Soalnya kalo gue liat liat lo bukan orang yang butuh duit sampe kepepet nge rent.”

“Oh hahaha. Gue dari masih sekolah sih. Terus kenapanya, ya mau aja, gak ada alesan penting. Gue cuma seneng nge treat orang sampe orang itu bahagia kalo ada gue disampingnya.”

“Lo bahagia juga?”

Oliver menatap jalanan lalu mengangguk. “Iya dong. Gue seneng, contohnya liat lo senyum lebar pas gue kasih bunga kemaren itu gue seneng banget.”

“Idihh idihh.” Nathan bergidig meledek Oliver yang dirasa sedang bergombal.

“Serius. Sekarang gue nemuin hal yang seindah dan seberwarna sayap kupu-kupu yang pernah gue liat.”

“Emang apaan?”

“Your smile.”