I Can't Live Without You
Jakarta, 22:00
Yang diinginkan Nathan sebenarnya hanya rasa tenang setelah pulang dari hari yang melelahkan, namun nyatanya sekarang ia malah semakin panik karena mendengan kabar bahwa Oliver mengalami panic attack karena dirinya. Ditambah ia melihat mobil Oliver terparkir di halaman rumahnya.
Oliver pasti kesini. Begitulah pikirannya.
Setelah mendapat alamat rumah Julian, Nathan diantar Caka, Dafa, Evlyn, dan Cilla langsung menuju rumah Julian.
“Tenang, Nat. Gue yakin Oliver gak apa-apa.” Evlyn berusahan menenangkan Nathan yang sedari tadi berusaha menelfon Oliver namun tak ada jawaban.
“Semoga, karena kalo dia sampe kenapa-napa gara-gara gue, gue bakal ngerasa bersalah seumur hidup gue.”
Nathan tahu langkahnya salah, tidak seharusnya ia meninggalkan Oliver tanpa kabar. Faktanya Nathan lupa bahwa ia adalah dunianya Oliver. Nathan lupa bahwa menghadapi kupu-kupunya yang mati saja Oliver bisa separah itu. Bagaimana dengan ini?
Nathan kecewa, kecewa dengan dirinya sendiri.
Walaupun di dalam hatinya masih menyimpan pertanyaan akan foto-foto yang sebenarnya jelas adalah Oliver.
Persetan dengan foto itu. Olive lebih berharga. Dan jika benar pun Nathan rela mundur demi kebaikan Oliver. Mungkin saja ayahnya Oliver akan berhenti menekan Oliver jika pasangannya adalah perempuan.
. .
Tak berapa lama akhirnya Nathan sampai di depan sebuah rumah sederhana di kawasan selatan kota Jakarta.
“Thanks ya udah mau anter gue.”
“Anytime, Nath. Gue berdoa yang terbaik buat lo. Dan semoga Oliver gak kenapa-napa.” Ucap Dafa.
Dengan langkah terburu, Nathan membuka gerbang yang tidak dikunci itu, berlari menuju pintu utama di dalamnya.
“Jul! Oliver?” Ucap Nathan ketika sang pemilik rumah telah membukakan pintunya.
“Di dalem. Baru bisa tidur abis dikasih obat penenang sama Nanda. Lo gak tau kan Oliver belom tidur sehari semalem?” Tatapan kecewa Julian tercetak jelas.
“Please maafin gue, gue tahu ini salah tapi gue juga punya alesan. Pertama gue sama sekali gak liat hp dan gak tau kalo Oliver nelfonin gue.”
“So, lo gak pegang hp dari semalem juga?”
“Gak gitu, gue gak bisa jelasin ke lo soal ini, sekarang please kasih tau gue Oliver dimana?”
Nathan sudah tidak sabar ingin melihat Olivernya, begitu Julian menunjukkan kamar mana yang di tempati Oliver, Nathan langsung berlari.
Ketika Nathan membuka pintu dengan perlahan, ia melihat Oliver tidur lelap dengan beberapa obat -yang Nathan tidak tahu apa- diatas nakas. Rasa bersalah kembali menguasai Nathan karena menghilang tanpa kabar dan membuat Oliver sekacau ini.
Wajahnya terlihat sangat kelelahan, ditambah Julian bilang Oliver tidak tidur sehari semalam. Itu artinya sejak Nathan memblock Oliver hingga saat ini, Oliver tidak beristirahat untuk memastikan Nathan baik-baik saja.
“Sayang, maafin aku.. Maaf...”
Nathan mengusap pipi Oliver yang menirus itu lalu menggenggam tangannya. “Aku tungguin kamu bangun disini ya. Semoga nanti kamu gak marah sama aku.”
Nathan beranjak dari duduknya, menaiki kasur dan berbaring di samping Oliver. Membawa tubuhnya lebih dekat dan memeluk Oliver erat-erat, merebahkan kepalanya di atas dada Oliver.
***
Kini hari sudah pagi dan ketika bangun, yang Nathan rasakan adalah usapan lembut di punggungnya serta deru napas hangat di atas kepalanya. Nathan mendongak dan matanya bertemu dengan mata bulat Oliver serta senyum menenangkannya.
Nathan kira ia akan sendirian ketika bangun lagi, Nathan kira Oliver tidak akan mau melihat wajahnya karena marah. Ternyata semuanya salah. Oliver gak pernah meninggalkannya. Ia lah yang meninggalkan Oliver.
“Ver, are you ok? Kenapa gak bangunin aku? Kamu butuh sesuatu gak? Biar aku ambilin. Mau sarapan apa? Biar aku masakin.”
Ketika nathan ingin bangun, pelukan Oliver malah mengerat. Memberi tanda pada lawannya jika ia tak ingin dipisah.
“Gimana mau bangunin? Kamu tidur nya nyenyak banget. Lagian aku suka ngeliatin wajah kamu, kayak bayi, hehe.”
Kekehan Oliver tak membuat Nathan tersenyum karena rasa bersalah yang mulai muncul lagi.
“Aku juga gak nyangka bakal bangun liat kamu di samping aku. Aku takut kalau aku bangunin kamu, kamu bakalan pergi lagi.” Lanjut Oliver.
“Gak. Aku gak akan pernah pergi lagi. Maafin aku, Ver.. Maaf.”
“Gak apa-apa, aku bersyukur masih bisa liat wajah kamu sekarang. Jangan pergi lagi ya, aku gak tau harus apa kalo gak ada kamu, kamu dunia nya aku, nafas aku ada di kamu. Gak ada kamu, aku gak bisa ngapa-ngapain. Tujuan aku cuma kamu, hidup aku gak ada artinya kalo kamu gak ada.”
Air mata Nathan sukses mengalir tepat setelah Oliver menyelesaikan kata-katanya dan dengan cepat isakan pun terdengar.
“Sayang? Kenapa?? Aku salah ngomong ya? Atau aku nyakitin hati kamu??” Tentu saja Oliver panik melihat Nathan menangis hingga sesugukan seperti ini. Usapannya di punggung Nathan pun dipercepat untuk menenangkan kekasih hatinya.
Nathan menggeleng. “Aku yang harusnya minta maaf karena gak percaya sama kamu. Seharusnya aku gak bodoh dengan diemin kamu dan gak percaya sama kamu. Hiks.. Harusnya aku tanya langsung semuanya ke kamu dan gak overthinking mikirin hal yang engga-engga tentang kamu.”
Pelukan Nathan mengerat begitu juga tangisnya yang menderas.
Sedang Oliver mengernyitkan dahi mendengar Nathan. Firasatnya benar ternyata, pasti ada yang tidak beres.
“Tanya apa? Apa yang mau kamu tanyain, sayang?”
Nathan menghapus air mata dan mengambil handphonenya, menunjukkan beberapa foto yang ia dapatkan sebelumnya.
Oliver terkejut dengan apa yang ia lihat. Dia dan Tiara, berciuman.
“Aku dapet foto ini dua hari lalu, aku kaget, pikiran aku langsung kacau banget, aku gak tau harus apa, aku kecewa ngeliatnya... Yang bisa aku lakuin cuma nangis semaleman mikirin kamu selingkuh sama cewek ini. Terus paginya temen-temenku dateng ngehibur aku dan ajak aku keluar. Tapi habis itu aku sadar seharusnya aku gak begini ke kamu. Harusnya aku langsung tanya ini dan gak percaya selain sama kamu...” Ada jeda disana.
“Kamu.. Gak beneran selingkuh dari aku kan.. Oliver?” Nathan menatap Oliver takut. Takut akan jawaban yang ia terima.
“Kalo aku jawab, kamu akan percaya?”
Nathan mengangguk. “Aku percaya semua yang keluar dari mulut kamu.” Walaupun itu bohong, Nathan tetap akan percaya. Nathan tidak ingin kehilangan Oliver.
Oliver mengelus pipi Nathan, menghapus sisa-sisa air mata disana, tersenyum kecil menatap bola mata terindah seseorang di dekapannya.
“Iya bener, itu aku sama Tiara” Oliver menjeda kalimatnya.
“Tapi itu dulu, jauh sebelum aku ketemu kamu. Sewaktu dia masih nyewa aku. Aku tau ini akan susah kamu percaya, tapi kamu inget kan kalo aku mempersilahkan partnerku untuk minta apa aja yang mereka mau selama nge-rent aku? Termasuk kissing, hugging or one night stand. I did it only because we're partner. Jadi disitu Tiara lagi minta aku buat kasih afeksi ke dia. Aku gak tau gimana bisa ada fotonya? Aku bahkan gak tau kalo aku di foto saat itu. Aku juga gak tau kenapa foto itu bisa ada di kamu.”
Oliver menatap Nathan masih dengan kelembutan yang sama.
“Masa lalu aku memang banyak buruknya karena aku boyfriend rent. Mungkin kedepannya kamu bakal tau hal-hal yang lebih buruk dari ini.. Maafin aku ya.”
Nathan percaya Oliver. Dan akan selalu seperti itu. Nathan gak akan meragukan Oliver nya lagi. Tidak akan penah.
“Aku percaya kamu, kamu gak perlu minta maaf untuk apapun. Aku gak perduli masa lalu kamu, aku gak perduli kamu pernah ngapain sama siapa aja. Yang aku tau, sekarang kamu punya aku, yang aku tau pacarku orang baik yang selalu ada buat aku, yang selalu mastiin kalo aku bahagia ada disapingnya, dan akupun begitu.”
Nathan kembali memeluk erat Olivernya. Sangat erat sarat akan takut kehilangan.
“I love you, Nathan. I always have and always will. You are the most beautiful thing in my life, how could I turn away if I don't get to look at you even for a day, it feels like I'll die.”
Oliver menangkup pipi Nathan dan mempersatukan kedua bibir mereka. Oliver rasa satu kecupan akan cukup untuk menenangkan mereka.
Namun ternyata tidak dengan Nathan. Nathan melampiaskan semuanya pada ciuman mereka. Lumatan-lumatan yang diberikan Nathan sarat akan rasa cinta yang sangat dalam. Nathan seperti berbicara cinta melalui ciuman ini.
Hingga tak sadar Nathan sudah berada di atas tubuh oliver dengan masih mencumbui bibir yang lebih tebal darinya itu serta tangan Oliver yang sudah merambat di punggung Nathan yang sangat halus.
“Nath-” Tak diijinkan bicara oleh Nathan.
“Ah, sayang..” Masih suara Oliver.
Oliver menjauhkan wajah Nathan, memutus tautan bibir mereka saat tangan Nathan mulai bergerilya diatas adik kecilnya.
“Kita lagi di rumah Julian, Nat. Gak mungkin kan kita ngelakuinnya disini.” Oliver berbicara sambil merapihkan rambut Nathan, menatap mata sayu pacarnya.
“Tapi aku kangen...” Kali ini Nathan merengek.
“Sabar ya sayangku, habis ini kita pulang yah.”
Nathan tersenyum mengangguk dan berajak dari tubuh oliver.
“Hm... Ver. Aku belum jawab pertanyaan kamu.”
Dahi Olive berkerut bingung, pertanyaan yang mana?
“Aku dapet foto-foto itu dari mas bintara.”