Oliver's Purposes
“Macet banget nih kayaknya. Udah jam 7 masih belum dateng juga.”
Nathan mengalihkan pandangannya dari jam dindinnya, menunggu kedatangan Oliver yang katanya sih tadi mau jemput. Sebenernya Nathan juga gak tau mau kemana, gak ngabarin eh tau tau ngajak keluar.
“Tapi kok gak ngechat lagi ya? Gue telfon aja kali? Ah jangan-jangan baterainya habis??”
Perlahan rasa khawatir mulai melingkupi Nathan bersamaan dengan turunnya hujan. Tambah saja Nathan makin panik.
“Tenang Nath Tenang, kali aja beneran hp nya mati terus masih kejebak macet.”
Hujan makin deras dan hari makin malam, Nathan mulai mondar mandir berusaha menelfon Oliver namun tak ada jawaban. Tapi setelahnya ketukan terdengar.
Secepat kilat Nathan berlari dan membuka pintu berharap Oliver yang datang.
“Hai, hehe.”
“IH! KEMANA AJA SIH BIKIN PANIK! KENAPA BASAH GINI? KALO SAKIT GIMANA?!”
Oliver diserbu pertanyaan menggebu dari Nathan namun ia hanya tersenyum.
“Hahaha, tadi ban mobil aku bocor, terus ya terpaksa ganti dulu di pinggir jalan. Sambil ujan-ujanan. Sekarang udah boleh masuk belum? Dingin nih.”
Dengan wajah masih kesal, Nathan menggandeng Oliver masuk, membantu melepaskan jaketnya.
“Mending kamu mandi dulu sekarang, terus ganti baju biar gak sakit.”
“Aku gak bawa baju?”
“Ya aku juga tau, pake baju aku lah. Nanti aku siapin, handuknya ada di dalem kamar mandi.”
Dengan anggukan, Oliver mengikuti semua perintah Nathan sedangkan Nathan berjalan menuju dapur untuk menyiapkan teh hangat.
“Hahh syukur deh gak kenapa-napa. Sekalian bikin makan deh, pasti belum makan malam.”
Nathan kembali bergumul di dapurnya, tidak banyak yang ia masak karena kebetulan yang ia punya hanya tersisa mie rebus dengan beberapa sayur dan sosis. Ia rasa cocok untuk dimakan malam ini.
“Nat? Bajunya?”
Nathan menoleh mendapati Oliver di depan pintu kamarnya hanya memakai handuk. Nathan lupa menyiapkan baju untuk Oliver.
“Oh iya. Kamu ambil aja di lemari aku deh. Aku lagi siapin makanan.”
Dan lagi Oliver hanya menurut. Kini makanan sudah siap dan mereka berduapun sudah duduk di kursinya masing masing. Saling pandang.
“Sorry ya, tadinya aku mau ajak dinner di luar. Malah jadi begini.”
Oliver membuka suara ditengah aktifitas makannya.
“Yang penting kamu sampe kesini selamet aja aku udah bersyukur. Tapi jadinya kita cuma makan mie. Aku keabisan bahan makan, gak liat lagi.”
“Gak apa-apa. Seenggaknya satu dari tiga tujuan aku terlaksana.”
“Apaan tuh?”
“Dinner sama kamu.”
Oliver menatap wajah Nathan, menanti kata apa yang selanjutnya keluar dari mulutnya.
“Yang dua gagal ya?” Dan Oliver menjawab dengan anggukan sekaligus gelengan, membuat Nathan mengernyitkan dahi nya.
“Gimana dehh? Jadi gagal atau engga?” Tanya Nathan lagi.
“Yang satu gagal, satu lagi belum tau.”
“Mulai deh gak jelas nya.” Nathan memutar bola matanya malas.
Oliver menggeser kursinya agar lebih mendekat dengan Nathan.
“Yang satu lagi belum tau karena aku masih butuh jawaban dari kamu.”
Oliver mengeluarkan sebuah bracelet berliontin butterfly, memasangkannya langsung pada Nathan. Tentu saja Nathan yang gak tau apa-apa masih bingung.
“Pasangannya udah aku pake.”
Oliver menunjukkan pergelangan tangannya yang ternyata sudah memakai bracelet yang sama dengan punya Nathan.
“Tiba-tiba banget ngasih gelang. Couple lagi?” Nathan mengamati bracelet nya dengan senyum.
“Suka?” Tanya Oliver, dan tentu saja Nathan mengangguk.
“Bukan gelang nya. Tapi aku.”
Nathan mengubah posisi duduknya agar berhadapan dengan Oliver.
“Jadi maksudnya butuh jawaban ini? Bukannya udah jelas yah?” Oliver terkekeh saat Nathan mencubit pipinya.
“Ayo jadian!”
Kali ini Oliver yang terkejut.
“Nat!! Itu barusan harusnya dialog aku!!” Ucap Oliver kesal kata-kata nya diambil Nathan.
“Oke mulai hari ini kita pacaran.”
“Pokoknya aku yang nembak ya.” Oliver masih ngotot sedang Nathan mulai tertawa. Satu lagi sifat Oliver yang Nathan suka. Bertingkah seperti bayi.
“Naatt, aku yang nembak kann?” Oliver memeluk pinggul Nathan, memanyunkan bibirnya dan merengek seperti bayi.
“Aku lahh. Hahaha, siapa suruh kelamaan.”
“Gak gak. Pokoknya kita udah jadian sejak kamu pake gelang itu. Titik.”
“Iya bayii.” Nathan mengusak rambut Oliver yang masih sedikit basah lalu mengecup bibirnya. Pada akhirnya Nathan juga yang mengalah. Sebetulnya tidak penting siapa yang 'menembak'. Yang penting adalah sekarang mereka resmi memiliki satu sama lain.
“Bayi? Bayi yang bisa bikin bayi maksud kamu?” Setelahnya sebuah sentilan bendarat di kening Oliver.
“Bayi gak boleh macem-macem. Udah lepasin dulu pelukannya, aku mau beresin piringnya. Habis itu kita istirahat.”
“Istirahat sambil peluk kamu?”
“Iya sambil pelukan.”
“Wohoo!”
Oliver benar-benar senang sampai melompat kegirangan, Nathan juga sangat senang, namun tidak mungkin juga ia ikut lompat seperti Oliver.
Ini terdengar seperti misi mengasuh bayi dari pada disebut berpacaran.