First and Last Failure.
Nathan's House
Saat hari sudah menjelang malam, saat Nathan berjalan untuk membukakan pintu dan saat Nathan melihat keadaan kekasihnya yang jauh dari kata baik-baik saja, Nathan tahu Rachel memang benar.
Rachel benar bahwa Oliver sedang membutuhkannya.
Namun satu yang Nathan tak mengerti. Kenapa kekasihnya diam, kenapa Oliver tak langsung mendatanginya? Bukankah seharusnya ia adalah orang pertama yang Oliver cari?
Nathan tak tahu apa yang telah dilalui Oliver sampai membuat keadaannya seburuk ini.
Meskipun tak ada timbangan, Nathan tahu bahwa berat badan Oliver menurun, kelopak mata menghitam kurang tidur, kantung mata yang menonjol dan bibir pucat. Namun bak aktor profesional, Oliver menutupi itu semua dengan senyum lebar sambil mengangkat kotak pizza yang iya bawa seraya berucap 'Pizzanya dateengg'.
Nathan ingin menangis langsung namun ia tahan, yang ia lakukan hanya membalas senyum lalu buru-buru menyuruh Oliver masuk.
Nathan membiarkan semuanya berjalan tenang dengan suasana yang Nathan buat sehangat mungkin, makan dengan diselingi tawa atas candaan yang Oliver buat.
Seakan tak mau kalah dari Oliver, Nathan pun sebenarnya menyembunyikan rasa kecewa dibalik tawanya. 'Kenapa? Kenapa aku gak tau kamu lagi dalam keadaan kayak gini, Ver? Kamu gak percaya sama aku?'
Namun Nathan telan lagi pertanyaan-pertanyaan yang sudah berada di ujung lidahnya itu. Setidaknya sampai makan malam mereka habis.
“Kamu nginep sini aja ya?” Nathan bertanya setelah membereskan sisa makanan mereka.
Dan Oliver tersenyum sambil menjawab, “Iya sayang.”
Kini keduanya sudah berada dalam satu kamar, kamar Nathan. Dengan Oliver yang baru saja keluar dari kamar mandi, masih dengan rambut basah.
“Ver, kamu kenapa?”
Dari sekian banyak tanya hanya itu yang bisa Nathan ucapkan.
“Aku kenapa?” Oliver tentu bingung kenapa Nathan nya ini.
Oliver berjalan mendekati Nathan yang terduduk dipinggir kasur, kini Nathan harus mendongakkan kepalanya.
“Mata kamu, berat badan kamu, kenapa? Kenapa gak cerita apa-apa sama aku? Kenapa aku jadi orang yang gak tau apa-apa tentang pacar aku sendiri?”
Suara parau Nathan mengiris hati Oliver. Maksud hati ingin menjaga Nathan dari kesedihan, tapi malah membuat Nathan kecewa.
“Kenapa harus Rachel yang kasih tau aku kalo kamu lagi butuh aku? Kenapa kamu gak kasih tau aku? Kenapa aku gak peka sama keadaan kamu? Aku kurang aware sama pacar aku sendiri..”
Bukan, bukan hal ini yang Oliver inginkan, Oliver tidak ingin Nathan menyalahkan dirinya sendiri seperti ini.
“Maafin aku, maafin aku.” Oliver berlutut, menunduk meminta maaf di depan Nathan.
“Aku gak bermaksud buat nutupin semuanya dari kamu.” Suara Oliver tak kalah parau dari Nathan sekarang.
Nathan menangkup pipi Oliver, mengusap pipi serta kantung mata yang sangat terlihat, menggigit bibirnya sendiri saat nyeri di hatinya terasa.
“Papah tau aku punya kamu. Papah gak suka ada kamu di hidup aku... Gak, papah gak suka aku bahagia. Dia kasih aku kerjaan yang banyak buat bikin aku tertekan, papah gunain semua powernya buat ngepush aku jauh dari kamu.”
Oliver menjeda kalimatnya.
“Aku gak mau kamu sedih karena papahku, aku gak mau ini ngelukain kamu. Aku cuma mau bahagiain kamu dan jauhin kamu dari semua hal yang bisa bikin kamu sedih. Aku takut kalo kamu tau, kamu jadi nyalahin diri kamu dan membebani kamu. Dan yang paling parah aku takut kamu pergi. Aku takut kamu ninggalin aku kayak mereka.”
Air mata jatuh bersamaan. Nathan dan Oliver menangis dengan alasan yang sama. Karena mereka tahu mereka sangat amat mencintai hingga ketakutan menguasai salah satunya.
“Kamu tau aku gak akan ngelakuin itu kan?” Nathan menghapus air mata kekasihnya.
“Maafin aku, maaf aku gak ada saat kamu tertekan, Ver. Saat harusnya aku jadi orang yang pertama kali beri kamu semangat, saat harusnya aku jadi orang yang kasih kamu pelukan tapi aku gak ada disana buat kamu.”
Ya, Nathan juga merasa bersalah disini. Harusnya ia tahu jika kekasihnya membutuhkannya. Tapi apa? Ia hanya sibuk dengan pekerjaan yang buru-buru ia selesaikan padahal tak ada yang mengejarnya.
Saat ia sibuk sampai membiarkan hari-hari kosong tanpa chat dan telfon dari Oliver, yang sialnya ia tak merasa khawatir akan hilang kabar yang kekasihnya lakukan selama berhari-hari itu.
Saat kekasihnya mungkin sedang mati-matian menahan pressure dari ayahnya, ia malah sibuk zoom meeting dengan Bintara hingga larut di waktu yang seharusnya Nathan utamakan untuk Oliver.
“Semua gak akan kayak gini kalo dari awal aku cerita semuanya ke kamu.” Oliver menatap dalam manik indah kecintaannya.
Nathan mengangguk. “Jangan lakuin ini lagi, ini kegagalan kita untuk yang pertama dan terakhir kali. Jangan di ulang. Kamu bisa cerita semuanya, seburuk apapun itu aku gak akan pernah tinggalin kamu.”
Nathan mengecup bibir Oliver. “Aku janji.” Ucap Oliver.
Jika bukan Nathan, siapa yang akan melindungi Oliver? Jika bukan Oliver, siapa yang akan membahagiakan Nathan?
Keduanya pun tidak akan pernah ingin hal itu digantikan oleh orang lain selain mereka.
“Nangis aja kupu-kupu aku tetep manis yah.” Oliver tertawa sambil mengusap lelehan air mata Nathan.
“Kamu ya yang bikin aku nangis! Gak usah sok manis gitu ngomongnya.”
Keduanyapun tertawa sambil masih saling menatap dengan posisi tetap seperti awal percakapan berat mereka.
Lama-lama tatapan Nathan makin dalam menyelami samudra legam kekasihnya, mengikis jarak keduanya hingga hidung mereka menyatu.
“It's time to recharge your energy.” Akhir dari ucapan Nathan adalah menyatunya kedua bibir anak adam yang saling menyayangi.
Hanya ini yang Nathan bisa beri untuk menebus segalanya.
Lumatan-lumatan lembut yang dipimpin oleh Nathan dengan elusan intens ditengkuk Oliver tenyata semakin membakar suasana di dalam kamar bernuansa biru itu.
Suara kecapanpun makin terdengar saat Oliver membalas Nathan, tangannya kini sudah melingkar sempurna di pinggul Nathan, bibirnya mulai mengambil alih kepemimpinan. Mengisap sekaligus menggigit bongkahan ranum milik kekasihnya yang sialnya sangat manis.
Saat Oliver mulai menggila dengan jilatan-jilatannya, Nathan malah semakin merapatkan tubuhnya pada Oliver yang masih berlutut itu.
Nathan memasrahkan bibirnya di hisap habis, Nathan membiarkan dirinya dimakan hidup-hidup oleh Oliver.
Lenguhan mulai terdengar bersamaan dengan masuknya lidah Oliver, merajalela di dalam mulut hangatnya. Tanpa melepas tauran kedua lidah liar itu, Oliver bangun mengangkat tubuh Nathan untuk berbaring sepenuhnya di kasur.
“Aahh..” Alih-alih menyudahi, Nathan malah mengeratkan pelukannya di leher kekasihnya sedang Oliver hanya mengikuti insting nya untuk mengecupi seluruh permukaan wajah Nathan.
Dagu dan seluruh pipi Nathan telah basah oleh Oliver, hingga bibir dingin itu sampai di telinga lawan di bawahnya.
“Hhmh, Nath..” Panas sudah.
“I'm all yours, Ver. Sekarang, malam ini, detik ini, jangan pikirin apapun selain aku. Lepasin semua nya, lampiasin ke aku-nghh.. Kamu boleh istirahat dan habisin waktu kamu di sini selama yang kamu mau.”
“I will.”
***